Banyak yang
ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara:
1.
Mempelajari teori menulis baru praktik
2. Learn the
hard way atau menulis dulu teori belakangan.
Terserah kita mana yang lebih enak
dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman dari penulis-penulis yang tulisannya
sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon
Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman
Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung
mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.
Sulitkah Menulis?
Sulitkah menulis? Iya dan tidak.
Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap “santai”. Eep
Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis
akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain.
Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis
buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya
dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke
media, dimuat atau tidak itu tidak penting, barulah kita dapat melirik
buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi,
tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian. Seperti kata Rhoma Irama,
penyanyi kesayangan Malik Sarumpaet.
Topik Tulisan
Topik tulisan,
berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa
tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda
seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di
Indonesia? Dan lain-lain.
Sekali lagi, usahakan menulis sampai
700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media
yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan
tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak
dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah
prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi
dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif
Apa hubungannya menulis dengan
kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong.
Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih
banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan
yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‘wah’
sehingga mendorong perasaan kita jadi ‘wah’ juga alias ke-GR-an.
Nah, menulis dan mengririm tulisan
ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia
dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih
muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal.
Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di
saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.
Kita juga akan terbiasa menghargai
orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya. Di
sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi
kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70
tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat.
Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari
situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan
mental juara seseorang.
Sumber: http://www.fatihsyuhud.com