Rabu, 06 November 2013

Pulau Sebatik



Pulau Sebatik: Dilema Rakyat di Ujung Negeri

Sebatik merupakan salah satu pulau terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pulau ini menjadi pintu gerbang Indonesia di wilayah Kalimantan, tepatnya di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, yang berbatasan lansung dengan negeri Sabah, Malaysia. Pulau Sebatik hanya berjarak 20 menit dari Nunukan dengan menggunakan speed boat. Merupakan salah satu pulau kecil terluar dari 31 pulau yang berpenduduk. Pulau ini terbagi dua wilayah antara Indonesia dan Malaysia dengan pembangunan yang sangat kontras.
Pada 1911-1942, pulau Sebatik merupakan daerah eksploitasi kayu bagi penjajah Belanda. Saat itu dilakukan pemasangan patok perbatasan Indonesia-Malaysia oleh Belanda dan kolonial Inggris. Status kepemilikan pulau Sebatik pun terbagi dua, yaitu wilayah selatan seluas 246,61 Km2 milik Indonesia dan wilayah utara 187,23 Km2 milik Malaysia.
Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang Bunyu. Sekarang terdapat ratusan kepala keluarga tinggal dan menetap di sana.
Potensi sumber daya hayati Sebatik cukup menjajikan jika dikelola dengan baik, seperti sektor kelautan dan perikanan (rumput laut dan udang), lahan pertanian, pekebunan (kelapa sawit), dan wisata tapal batas. Pada jasa kemaritiman, pulau Sebatik berhadapan langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakancompetitive advantage bagi pengembangan industri pelayaran, baik dalam negeri, luar negeri, maupun pelayaran khusus.
Sarana dan prasarana di pulau Sebatik relatif memadai dengan indikasi kondisi jaringan jalan poros yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan seluruh ibukota kecamatan secara eksisting telah terbentuk melingkar (mengelilingi pulau) sepanjang ± 79 km. Namun, kebutuhan energi listrik di pulau tersebut belum terpenuhi secara memadai dan merata. Demikian pula keberadaan air bersih masih menjadi kebutuhan pokok yang sampai saat ini belum terakses  semua warga. Terdapat PDAM Tirta Darma yang berlokasi di Kecamatan Sebatik Utara, namun hanya mampu melayani 708 keluarga.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa isu strategis di wilayah Sebatik yang mengemuka, yaitu isu pergeseran patok perbatasan dan pemakaian uang ringgit. Bagai “dua sisi mata uang”, isu ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah penting adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di perbatasan dengan negara tetangga. Contohnya, fakta bahwa pembangunan Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme.
Namun, kebijakan terkait kawasan perbatasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, ternyata bersifat makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN 2010-2014 juga belum memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan perbatasan/PPKT secara terpadu. Pendekatan sektoral masih lebih dominan dibandingkan pendekatan regional. Akibatnya, hingga kini belum ada rencana pembangunan yang berorientasi pada upaya pembangunan kawasan perbatasan yang terintegrasi dan rinci.
Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan sehingga ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur berada di Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering muncul isu internasional menyangkut status kepemilikan pulau Sebatik, yang mengakibatkan hubungan Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Tetapi masyarakat Sebatik dan Tawau Malaysia tidak terpengaruh, mereka tetap menjalankan hubungan yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.
Secara ekonomi masyarakat Sebatik sangat bergantung kepada Malaysia, khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti ikan, sawit dan coklat dijual ke Negeri Jiran. Masyarakat Sebatik juga membeli berbagai kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tidak heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi, warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya lebih tinggi. Secara geografis, pulau Sebatik juga lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, bila dibandingkan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 30 menit dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos dua kali lipat lebih tinggi.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di pulau Sebatik adalah jika pada malam hari menyaksikan kota Tawau bermandikan cahaya dengan gedung-gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di pulau Sebatik gelap-gulita dengan hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali. Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan rusak, serta pelayanan kesehatan dan minimnya pendidikan, menambah terkucilnya masyarakat Sebatik di tengah gemerlap cahaya kemakmuran Negari Jiran.
Belajar dari sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa blok Ambalat, pengusiran ratusan ribu TKI dan munculnya Asykar Watanlyah yang direkrut dari warga perbatasan, maka sudah sepantasnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada pulau Sebatik.
Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan. Realitas pertama adalah realitas kartografi yang kaku, dan realitas lainnya, yang bertolak-belakang adalah realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis. Pemahaman perbatasan yang kritis ini menjadi sangat penting dalam menyusun alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ‘halaman depan’ yang lebih bermakna, manusiawi dan substantif.
Hal itu harus menjadi pelajaran dalam perumusan kebijakan pembangunan, rencana induk atau rencana aksi pengembangan perbatasan ke depan. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan menjadi dasar kuat bagi formulasi kebijakan yang manusiawi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Demikian juga dengan kebijakan pengembangan pulau Sebatik yang diduduki dua negara. Rencana aksi pengembangan pulau Sebatik selayaknya tidak hanya melihat wilayah yang menjadi bagian Indonesia, tetapi sebagai satu kesatuan NKRI (Telah dimuat di Harian Suara Pembaruan Edisi JUmat 22 Februari 2013)

Oleh: Dr. Y. Paonganan, M.Si.
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute

Tidak ada komentar: