Tampilkan postingan dengan label geografi kota. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label geografi kota. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Mei 2013

Analisis Permukiman Kumuh Kelurahan Pucang Sawit, Surakarta





PERSEMBAHAN

·         Sebagai salah satu ibadah kami kepada Allah SWT yang selalu memberi kami rahmat-Nya yang tak pernah terhitung.
·         Sebagai tanda bakti kepada orang tua kami masing-masing yang selama ini selalu mendukung dan mendoakan kami.
·         Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Geografi Kota yang dibimbing oleh Bapak Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si
·         Sebagai tanda kasih kepada teman-teman Pendidikan Geografi angkatan 2012 yang selama ini berjuang bersama. Semoga semakin solid!


KATA PENGANTAR

Jumlah penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun menyebabkan semakin bertambah pula kebutuhan penduduk. Kebutuhan yang harus dipenuhi minimal kebutuhan pokok. Sandang, pangan dan papan menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Pada karya ilmiah kali ini lebih menekankan pada kebutuhan pokok papan. Kumpulan dari papan-papan yang ditempati penduduk dikenal dengan permukiman penduduk. Kumpulan papan-papan atau permukiman penduduk dikelompokkan menjadi permukiman non kumuh dan permukiman kumuh. Diantara permukiman non kumuh dan permukiman kumuh, permukiman kumuh yang menjadi suatu masalah yang perlu diatasi.
Permukiman kumuh di daerah manapun menjadi suatu masalah yang tidak bisa disepelekan. Permukiman kumuh umumnya dihuni oleh penduduk yang mempunyai penghasilan rendah dan tidak tetap. Dengan penghasilan yang rendah dan tidak tetap, menandakan kesejahteraan pada darah pemukiman kumuh masih kurang. Sebagian besar dari mereka hanya memikirkan bagaimana mereka cukup untuk makan sehari-harinya. Masalah permukiman kumuh yang mereka tempati kurang diperhatikan oleh penduduk kumuh itu sendiri.
Dampak dari pemukiman kumuh tidak hanya dirasakan oleh penduduk yang menghuni permukiman kumuh saja, namun daerah disekitar dan lingkungan sekitar terkena dampak dari permukiman kumuh. Untuk mencegah semakin bertambahnya permukiman kumuh dari tahun ketahun, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak. Pertama dari kesadaran masyarakat daerah permukiman kumuh dengan didukung oleh masyarakat daerah sekitar dan pemerintah.
Daerah yang akan di kaji pada karya ilmiah kali ini, akan dibahas suatu daerah yang mempunyai perubahan permukiman kumuh menuju kearah yang lebih baik. Dari tahun ketahun permukiman kumuh mengalami pengurangan. Berkurangnya permukiman berkat kerjasama beberapa pihak dan dipengaruhi oleh beberapa pihak.
Demikian gambaran sekilas tentang karya ilmiah yang berjudul “ANALISIS PERMUKIMAN KUMUH DI KELURAHAN PUCANG SAWIT KECAMATAN JEBRES SURAKARTA”.  Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami maupun menganalisis fenomena permukiman yang sekarang banyak terjadi di kota-kota besar, khususnya Kota Surakarta.
                      Penulis
Surakarta, 18 Mei 2013



 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Di kota-kota besar di negara-negara dunia biasa ditemukan adanya permukiman kumuh. Adanya permukiman kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi berlebih di kota-kota tersebut.
Secara umum, permukiman kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan permukiman atau pun bukan kawasan permukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kondisi fasilitas hunian atau perumahan penduduk yang tidak memadai atau tidak memenuhi kebutuhan pokok kehidupan penduduk dalam menopang hidupnya, biasanya merupakan pertanda dari kekacauan ekonomi maupun politik yang tengah dihadapi masyarakat tersebut, demikian pula perumahan yang tidak mencukupi dan tidak memberikan jaminan keamanan akan mengarah pada ketidakstabilan ekonomi dan politik yang akan menghambat pembangunan ekonomi (http://www.habitat.com, 2006).
Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah permukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Dalam kenyataannya perkembangan permukiman kumuh dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang sangat signifikan. Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami semata, tetapi juga karena banyaknya pendatang baru baik dari daerah perdesaan maupun perkotaan di sekitarnya (Yunus: 2001). Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Penduduk tahun 2010 pertumbuhan penduduk Indonesia relatif masih tinggi yakni 1,5%-2% per tahun. Pertumbuhan penduduk ini kebanyakan terjadi di kota-kota besar yang kemudian mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk perumahan juga semakin meningkat. Hal ini yang menyebabkan lahan-lahan di perkotaan memiliki harga yang semakin melambung tinggi. Akibat tingginya harga lahan untuk perumahan, penduduk sekitar melakukan pemadatan dalam membangun rumah di permukiman (densifikasi). Karena daerah pemukiman dengan rumah-rumah yang padat hampir tak ada sela ini membuat kondisinya menjadi kumuh dan tidak tertata. Menurut catatan PBB tahun 2005, sekitar 1 (satu) milyar jiwa penduduk di seluruh dunia hidup di permukiman kumuh. Sedang di Indonesia pada tahun 2000, permukiman kumuh mencapai lebih dari 47 ribu hektar dan meningkat hingga mencapai 58,7 ribu hektar pada tahun 2005. Terbentuknya permukiman kumuh (slum area) dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan karena dapat menjadi sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang seperti kejahatan dan sumber penyakit sosial lainnya.
Namun hal ini berbanding terbalik dengan permukiman kumuh yang ada di bantaran sungai Bengawan Solo, tepatnya di Kelurahan Pucang Sawit, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Di Kelurahan Pucang Sawit ini terjadi pengurangan jumlah rumah di permukiman kumuh yang disebabkan oleh pembentukan meander sungai Bengawan Solo. Pembentukan meander sungai Bengawan Solo menyebabkan berkurangnya lahan yang digunakan untuk permukiman kumuh.

B. Tujuan Penilitian
          Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permukiman kumuh di Kota Surakarta pada tahun 2002, 2004, 2008 dan 2011. Dapat pula tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1.      Mengkaji permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kota Surakarta pada tahun 2002, 2004, 2008, dan 2011, dan faktor-faktor dominan yang menjadi penyebab terjadinya permukiman kumuh tersebut.
2.      Mengkaji proses terjadinya permukiman kumuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
3.      Memprediksi  permukiman kumuh di Kota Surakarta pada tahun selanjutnya.
4.      Mengkaji dampak-dampak dari adanya permukiman kumuh di Kota Surakarta tersebut.

C. Kerangka Teori
          Munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai Bengawan Solo, tepatnya di Kelurahan Pucang Sawit, Kecamatan Jebres, Surakarta disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor fisik dan faktor nonfisik. Faktor fisik lebih cenderung pada tersedianya lahan di perkotaan yang semakin berkurang menyebabkan para penduduk membuat permukiman di lahan-lahan yang tidak diperuntukkan, contohnya bantaran sungai, sawah, rawa dan lahan terbuka lainnya. Sedang faktor nonfisik disebabkan karena tingginya harga lahan untuk membuat perumahan menjadikan para penduduk, khusunya penduduk dengan tingkat ekonomi menengah kebawah bermukim di daerah-daerah yang ilegal karena ketidakmampuan untuk membeli lahan-lahan tersebut. Karena keterbatasan lahan maka dibuatlah pemadatan bangunan (densifikasi). Pemadatan inilah yang menjadi sebab utama permukiman menjadi kumuh dengan kualitas lingkungan yang sangat rendah.
            Namun, dari tahun ke tahun permukiman kumuh yang ada di bantaran sungai Bengawan Solo semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena terjadinya pembentukan meander sungai Bengawan Solo serta adanya penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah kota Surakarta terhadap para pemukim yang berada di Kelurahan Pucang Sawit tersebut. Berkurang jumlah pemukim di permukiman kumuh Kelurahan Pucang Sawit membawa dampak baik, baik untuk lingkungan maupun untuk kehidupan sosial masyarakatnya. Dampak bagi lingkungan yang sangat nyata dirasakan adalah membaiknya kualitas lingkungan di kawasan bantaran sungai Bengawan Solo. Karena semenjak adanya perpindahan penduduk yang menempati kawasan bantaran sungai ini sampah hasil rumah tangga yang dihanyutkan ke sungai menjadi sangat berkurang serta lahan yang ada di sekitar bantaran sungai dapat dimanfaatkan sebagai lahan konservasi dengan menanam beberapa pohon. Selain untuk lingkungan, dampak berkurangnya perumahan yang menempati permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit sendiri pada bidang sosial, diantaranya semakin membaiknya hubungan antarwarga karena berada dalam lingkup kehidupan yang semakin membaik. 




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Permukiman Kumuh
Untuk menghindari kerancuan dalam pembahasan mengenai permukiman kumuh kali ini, maka terlebih dahulu memahami arti permukiman kumuh itu sendiri untuk mempermudah pola pikir dalam analisis. Selain itu, juga dengan mengerti arti dari permukiman kumuh dapat membatasi topik pembicaraan dalam karya ilmiah ini.
Beberapa konsep yang menyangkut permukiman menurut Finch (19570), Settlement atau permukiman adalah kelompok satuan tempat tinggal atau kediaman manusia, mencakup fasilitasnya seperti bangunan rumah, serta jalur jalan dan fasilitas lain yang digunakan sebagai pelayanan manusia tersebut. Dari batasan tersebut jelas bahwa permukiman bukan hanya kelompok bangunan tempat tinggal saja, tetapi di dalamnya juga termasuk semua sarana dan prasarana penunjang kehidupan penghuninya.
Pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan dari tahun ke tahun di daerah perkotaan, baik karena pertumbuhan alami ataupun pertambahan penduduk akibat migrasi masuk yang tinggi, menyebabkan ketersediaan lahan di kota mengalami kelangkaan. Kelangkaan lahan ini berimbas pada harga lahan untuk bangunan, baik perumahan atau bukan, menjadi sangat tinggi. Harga lahan yang tinggi kemudian memaksa para penduduk dengan tingkat ekonomi yang rendah mencari lahan untuk membangun rumah mereka di atas lahan-lahan yang tidak sesuai peruntukkannya, bahkan lebih sering di bangun di atas lahan yang illegal. Karena terbatasnya lahan-lahan illegal inilah menyebabkan para penduduk membangun rumahnya dan rumah tetangga-tetangganya hampir tak ada jarak (dipadatkan). Salah satu sebab adanya permukiman kumuh ini adalah pemadatan tersebut. Pemadatan tersebut menyebabkan kualitas lingkungan yang buruk (lingkungan menjadi kotor), kebutuhan akan air bersih kurang memadahai, ruang terbuka yang hampir tidak ada serta dampak-dampak buruk lainnya.  
Seperti yang telah disinggung di atas, hampir sama dengan Johan Shilas yang menjelaskan bahwa permukiman kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh.
Menurut Grimes (1976) dan Drakakis-Smith (1980), mengartikan bahwa permukiman kumuh adalah kompleks permukiman yang secara fisik ditandai oleh bentuk rumah kecil-kecil dengan kondisi lingkungan yang buruk, pola settlement yang tidak teratur serta kualitas lingkungan yang rendah dan juga minimnya fasilitas umum.
Socki (1993) mendefinisikan permukiman kumuh berdasarkan ciri-ciri fisiknya, antara lain sebagai berikut.
1)      Tingginya tingkat kepadatan penduduk lebih dari 1.250 jiwa per hektar.
2)      Kepadatan bangunan juga cukup tinggi hingga mencapai 250 atau lebih rumah per hektarnya.
3)      Ukuran bangunan yang kecil-kecil antara 25 meter persegi bahkan kurang.
4)      Tata letak yang tidak teratur.
5)      Sanitasi jelek serta kualitas bangunan yang jelek.
Selain ciri-ciri yang dijelaskan tersebut, ciri lain yang juga sering berkaitan dengan permukiman kumuh adalah kawasan industri, sekitar badan air, sepanjang rel kereta api serta sekitar daerah pusat kegiatan.
Dari beberapa penjelasan mengenai permukiman kumuh di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa permukiman kumuh yang dimaksud dalam karya ilmiah ini adalah seluruh satuan tempat tinggal atau kediaman manusia (mencakup seluruh sarana dan prasana penunjang kehidupannya) yang kondisinya sangat buruk dan berada di atas lahan yang tidak sesuai peruntukkannya (illegal), dalam hal ini adalah daerah bantaran sungai.

B. Analisis Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan    Jebres, Surakarta

      1)      Penyebab Munculnya Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta
Kota Surakarta merupakan salah satu wilayah yang memiliki beberapa daya tarik tersendiri, baik itu karena Kota Surakarta merupakan salah satu kota budaya, maupun karena semakin majunya bidang-bidang kehidupan yang ada di Kota Surakarta. Daya tarik ilnilah yang menjadi pendorong bagi para migran untuk berpindah ke Kota Surakarta, baik karena kepentingan ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Begitu juga dengan para pemukim yang ada di permukiman kumuh Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta.
Mengacu pada pendapat Clinord (1978) yang mengatakan bahwa penyebab adanya permukiman kumuh yaitu karena adanya pengaruh pertambahan penduduk terutama kepadatannya, sebagai akibat urbanisasi, kemiskinan kebudayaan dan kemauan politik. Permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit bermunculan akibat bertambahnya penduduk yang sebagian besar adalah para pendatang di daerah tersebut. Jumlah penduduk yang terus bertambah akibat migrasi masuk ke Kota Surakarta yang tinggi namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan untuk permukiman, menyebabkan para pendatang tersebut membangun rumah di bantaran sungai Bengawan Solo yang notabene merupakan kawasan yang illegal untuk permukiman. Selain itu tingginya harga lahan juga menjadi salah satu faktor munculnya permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit. Faktor geografi yang lebih mengacu pada ketersediaan lahan yang minim untuk permukiman dan faktor ekonomi yang lebih menekankan pada harga lahan yang tinggi, merupakan dua faktor penyebab adanya permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit.
a. Faktor geografi
Sebagaimana umumnya perkembangan kota-kota lain di Indonesia, Kota Surakarta juga mengalami perkembangan dalam beberapa aspek kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perkembangan tersebut salah satunya ditandai dengan adanya dominasi jenis-jenis penggunaan lahan oleh kawasan perkotaan. Arah kegiatan utama dari kawasan perkotaan adalah sebagai pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, perekonomian, sosial dan lain-lain. Akibatnya ketersediaan lahan untuk menampung penduduk di Kota Surakarta yang terus meningkat menjadi sangat minim. Lahan-lahan di sekitar bantaran sungai Bengawan Solo akhirnya menjadi tempat bagi para pendatang untuk membangun tempat tinggalnya, baik yang menetap maupun sementara.
Namun lahan-lahan illegal yang digunakan untuk membuat permukiman tersebut luasnya tidak memadahi, maka dibuatlah permukiman dengan rumah-rumah yang jaraknya berdekatan (padat).
b. Faktor Ekonomi
Karena tingginya angka migran yang masuk ke Kota Surakarta, khususnya Kelurahan Pucang Sawit menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal menjadi hal yang sangat pokok. Akan tetapi, semakin menyempitnya lahan untuk permukiman menyebabkan harga tanah semakin mahal. Para pendatang baru yang pada umumnya merupakan para penduduk dengan tingkat ekonomi yang rendah akhirnya mau tidak mau menggunakan lahan-lahan illegal yang tidak diperuntukkan, untuk membangun rumah-rumah mereka.

           2)      Persebaran Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan    Jebres, Surakarta
Pada bagian ini membahas mengenai persebaran permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit, Kecamatan Jebres, Surakarta pada tahun 2002, 2004 2008 dan 2011 melalui pengamatan Peta Tentatif Kualitas Permukiman Kumuh Kelurahan Pucang Sawit. 


Gambar 1.1: Peta Tentatif Kualitas Permukiman Kumuh
Kelurahan Pucang Sawit.

TAHUN 2002
TAHUN 2004

TAHUN 2008

TAHUN 2011

Dari Gambar 1.1 yang memuat peta tentatif Kelurahan Pucang Sawit pada tahun 2002, 2004, 2008 dan 2011 tersebut, dapat kita analisis beberapa hal mengenai permukiman kumuh yang ada disana. Dapat diamati dari peta tentatif tahun 2000 dan 2004 bahwa permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit dalam kurun waktu 2002-2004 jumlahnya semakin bertambah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah pendatang yang menempati wilayah Kelurahan Pucang Sawit dari tahun ke tahun semakin bertambah. Namun pada tahun 2008 jumlahnya semakin berkurang yang disebabkan oleh adanya penggusuran (relokasi) oleh Pemerintah Kota Surakarta. Pengurangan tersebut tidak semena-mena langsung menghilangkan permukiman kumuh dari area tersebut. Karena dari gambar peta tentatif tahun 2008 masih dapat diamati beberapa bangunan yang masih bertahan di bantaran sungai Bengawan Solo. Selanjutnya di tahun 2011 kebijakan relokasi permukiman kumuh terus digencarkan oleh pemerintah Kota Surakarta hingga akhirnya jumlah pemukim terus mengalami pengurangan hampir lebih dari 75% (seperti yang terlihat dalam gambar peta tentatif tahun 2011).

Pada kesimpulannya berkurangnya jumlah pemukim yang menempati kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit adalah murni karena adanya relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta ke daerah Mojosongo.

   1)      Dampak Berkurangnya Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta
Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam menertibkan permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit dengan merelokasikan ke daerah Mojosongo dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Karena penertiban ini memberikan dampak positif baik bagi lingkungan sekitar maupun bagi para pemukim itu sendiri. Berikut penjelasan singkat mengenai dampak berkurangnya permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta.
a.      Dampak terhadap lingkungan
Dengan berkurangnya permukiman di daerah bantaran sungai Bengawan Solo tentu banyak hal-hal positif yang dirasakan antara lain, membaiknya kualitas air sungai Bengawan Solo karena berkurangnya sampah yang dibuang ke badan sungai, membaiknya kualitas lahan bantaran sungai, dan lain sebagainya.
Para pemukim yang dulunya tinggal di bantaran sungai Bengawan Solo tentu memiliki kebiasaan buruk, salah satunya membuang sampah sembarangan ke sungai, yang lambat laun tidak mungkin akan mengakibatkan banjir karena air sungai meluap hingga ke permukiman penduduk. Namun berbeda dengan keadaan sekarang, Kelurahan Pucang Sawit memiliki lingkungan yang bersih dari permukiman serta sampah-sampah hasil limbah rumah tangga. Sehingga lahan-lahan di bantaran sungai Bengawan Solo dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya, salah satunya adalah sebagai lahan konservasi di perkotaan.
b.      Dampak sosial terhadap kehidupan masyarakat
Permukiman kumuh identik dengan adanya kehidupan masyarakat yang  yang hidup di bawah garis kemiskinan yang merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan salah satunya dengan penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Begitu juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam menertibkan permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit. Pemerintah merelokasi para pemukim dan memberikannya lingkungan permukiman yang lebih baik. Hal ini berakibat pada berubahnya kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik pula. Lapangan pekerjaan mulai terbuka sedikit demi sedikit bagi para pendatang seiring dengan berkembangnya penataan kota yang lebih baik, dari sinilah maka diharapkan tingkat kemiskinan, tingkat kriminalitas dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya dapat diminimalisir.
 

    
     1)      Prediksi Persebaran Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta pada Masa Mendatang


Gambar 1.2 Prediksi Persebaran Permukiman Kumuh di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres, Surakarta pada Masa Mendatang


Gambar diatas merupakan peta tentatif persebaran permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit pada tahun 2015. Dimana terlihat permukiman kumuh di sebelah utara bantaran sungai Bengawan Solo sudah benar-benar bersih dari permukiman kumuh, tidak seperti saat 2011 yang masih terlihat beberapa rumah warga yang masih bertahan. Sedang di sebelah selatan dari bantaran sungai tersebut permukiman kumuhnya masih tetap ada tetapi dalam jumlah yang sedikit berkurang begitu juga dengan bagian barat dari bantaran sungai.
            Prediksi berkurangnya jumlah perumahan di permukiman kumuh Kelurahan Pucang Sawit pada tahun 2015 diindikasikan dari bencana banjir yang sampai sekarang masih terjadi akibat meluapnya sungai Bengawan Solo. Jadi, bisa diprediksi bahwa penduduk-penduduk Kelurahan Pucang Sawit yang rumahnya di sekitar bantaran sungai akan berpindah ke tempat lain yang lebih aman. Selain itu kebijakan Pemerintah Kota Surakarta yang masih terus berjalan dalam menertibkan para pemukim permukiman kumuh guna memperoleh penataan kota yang lebih baik.
 
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
          Permukiman kumuh adalah seluruh satuan tempat tinggal atau kediaman manusia (mencakup seluruh sarana dan prasana penunjang kehidupannya) yang kondisinya sangat buruk dan berada di atas lahan yang tidak sesuai peruntukkannya (illegal).
Permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Pucang Sawit, khususnya di daerah bantaran sungai Bengawan Solo muncul karena faktor geografi dan faktor ekonomi. Faktor geografi lebih mengacu pada ketersediaan lahan yang minim untuk permukiman dan faktor ekonomi lebih menekankan pada harga lahan yang tinggi, merupakan dua faktor penyebab adanya permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit.
Namun dari tahun ke tahun ( tahun 2002, 2004, 2008 dan 2011) permukiman kumuh di Kelurahan Pucang Sawit jumlahnya semakin berkurang, khususnya di sebelah utara bantaran sungai. Hal ini disebabkan karena adanya penggusuran (relokasi) yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta. Dampak adanya pengurangan permukiman kumuh ini dapat dirasakan melalui dampaknya terhadap lingkungan serta dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. 


DAFTAR PUSTAKA

Rindarjono, Moh. Gamal. 2012. Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial. Yogyakarta: Media Perkasa
 





 

j