materi kuliah oseanografi
dosen pengampu: Gentur Adi Tjahjono, S.Si
Ekosistem
estuari adalah ekosistem perairan semi-tertutup yang memiliki badan air dengan
hubungan terbuka antara perairan laut dan air tawar yang dibawa oleh sungai.
Percampuran ini terjadi paling tidak setengah waktu dari setahun. Pada wilayah
tersebut terjadi percampuran antara masa air laut dengan air tawar dari
daratan, sehingga air menjadi payau (brackish).
Wilayah ini meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan mangrove dekat
estuari dan hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini juga dapat
dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis. Karena selalu terjadi
proses dan perubahan baik lingkungan fisik maupun biologis. Sehingga estuari
memiliki sifat yang unik akibat adanya percampuran antara massa air laut dan
tawar membuat tingkat salinitas yang dimiliki dapat berubah-ubah atau memiliki
fluktuasi tersendiri. Berubahnya salinitas estuari dapat dipengaruhi oleh
adanya pasang surut air dan musim. Selama musim kemarau, volume air sungai yang
masuk berkurang, sehingga air laut dapat masuk sampai ke daerah yang lebih
tinggi atau hulu dan menyebabkan salinitas yang dimiliki wilayah estuari
meningkat. Sebaliknya yang terjadi apabila pada musim penghujan air tawar yang
masuk dari hulu ke wilayah estuari meningkat sehingga salinitas yang dimiliki
rendah(Barus, 2002).
Adanya aliran air tawar yang terjadi
terus menerus dari hulu sungai dan adanya proses gerakan air akibat arus pasang
surut yang mengangkut mineral-mineral, bahan organik dan sedimen merupakan
bahan dasar yang dapat menunjang produktifitas perairan di wilayah estuari yang
melebihi produktifitas laut lepas dan perairan air tawar. Oleh karena itu,
lingkungan wilayah estuari menjadi paling produktif.
Pembagian
dan Macam-Macam Tipe Estuari
Estuari sebagai sebuah ekosistem
memiliki macam-macam tipe dilihat dari berbagai aspek, yaitu:
1. Perbedaan salinitas di wilayah estuari mengakibatkan
terjadinya proses pergerakan massa air. Air asin yang memiliki massa jenis
lebih besar dibandingkan dengan air tawar menyebabkan air asin di muara yang
berada di lapisan dasar dan mendorong
air tawar ke permukaan menuju laut. Sistem sirkulasi seperti inilah yang
menyebabkan terjadinya proses up-welling. Yaitu proses pergerakan
antar massa air laut dan tawar yang menyebabkan terjadinya stratifikasi atau
tingkatan-tingkatan salinitas. Sehingga terbentuklah beberapa tipe estuari, yaitu:
a. Estuari positif (baji garam)
Estuari tipe ini memiliki ciri khas
yaitu gradien salinitas di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan salinitas
pada bagian dalam atau dasar perairan. Rendahnya salinitas di permukaan
perairan disebabkan karena air tawar yang memiliki berat jenis lebih ringan
dibanding air laut akan bergerak ke atas dan terjadi percampuran setelah beberapa saat
kemudian. Kondisi ini, juga dapat disebabkan pula oleh rendahnya proses
penguapan akibat sedikitnya intensitas matahari yang masuk pada wilayah
estuari. Tipe estuari ini dapat ditemukan di wilayah sub tropis yang mana
terjadinya penguapan rendah dan volume air tawar yang relatif banyak. Sedangkan
untuk wilayah tropis sendiri, dapat pula ditemukan tipe ini apabila terjadi
musim penghujan. Yang mana intensitas cahaya matahari
pada musim tersebut sedikit dan massa air tawar yang masuk lebih besar(Knox,
1986).
b. Estuari negatif
Estuaria tipe ini biasanya ditemukan
di daerah dengan sumber air tawar yang sangat sedikit dan penguapan sangat
tinggi seperti di daerah iklim gurun pasir. Keadaan dari estuari tipe ini
dikarenakan oleh air laut yang masuk ke daerah muara sungai melewati permukaan
sehingga mengalami sedikit pengenceran karena bercampur dengan air tawar yang
terbatas jumlahnya. Lalu tingginya intensitas cahaya matahari menyebabkan
penguapan sangat cepat sehinggaair
permukaan hipersalin (banyak mengandung garam)(Knox, 1986).
c. Estuari sempurna
Percampuran sempurna menghasilkan
salinitas yang sama secara vertical dari permukaan sampai ke dasar perairan
pada setiap titik. Estuaria seperti ini kondisinya sangat tergantung dari
beberapa faktor antara lain: volume percampuran masa air, pasang surut, musim,
tipe mulut muara dan berbagai kondisi khusus lainnya. Estuaria percampuran
sempurna kadang terjadi atau ditemukan di daerah tropis khususnya ketika volume
dan kecepatan aliran air tawar yang masuk ke daerah muara seimbang dengan
pasang air laut serta ditunjang dengan mulut muara yang lebar dan dalam(Knox,
1986).
2.
Berdasarkan geomorfologi, iklim, dan
sejarah geologinya estuari dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Estuari dataran pesisir
Estuari ini terbentuk pada akhir
jaman es, ketika permukaan laut menggenangi lembah sungai yang letaknya lebih
rendah dibanding dengan permukaan
laut itu sendiri.
b. Estuari tektonik
Terjadi karena turunnya permukaaan
daratan sehingga daerah tertentu khususnya didekat pantai digenangi air.
c. Estuari semi-tertutup (gobah)
Terbentuk karena adanya gumuk
pasir yang sejajar dengan garis pantai dan sebagian wilayahnya memisahkan
perairan yang terdapat dibelakang gumuk
dengan air laut. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya gumuk yang merupakan
tempat penampungan bagi air tawar dari daratan. Salinitas yang terdapat dalam
gobah bervariasi tergantung keadaan iklim, ada tidaknya aliran sungai yang
masuk, dan luas wilayah gumuk pasir membatasi masuknya aliran air laut yang
masuk.
d. Fjord
Tipe ini sebenarnya adalah lembah
yang telah mengalami pendalaman akibat gleiser. Kemudian kubangan yang
terbentuk digenangi air laut. Tipe ini memiliki ciri khas berupa suatu ambang
yang dangkal pada mulut muaranya(Kramer et al, 1994).
Jenis Flora
dan Fauna (komponen biotik) yang hidup di
ekosistem perairan Estuari
Lingkungan
estuari merupakan kawasan yang sangat penting bagi berjuta hewan dan
tumbuhan. Pada daerah-daerah tropis seperti di lingkungan estuari umumnya
di tumbuhi dengan tumbuhan khas yang disebut Mangrove. Tumbuhan ini mampu
beradaptasi dengan genangan air laut yang kisaran salinitasnya cukup lebar.
Pada habitat mangrove ini lah kita akan menemukan berjuta hewan yang hidupnya
sangat tergantung dari kawasan lingkungan ini.
Komponen
biotik merupakan komponen-komponen yang terdiri atas makhluk hidup. Komponen biotik yang terdapat pada
Ekosistem Estuari dapat dikelompokan menjadi:
a. Organisme autotrop, merupakan organisme yang dapat
mengubah bahan organik menjadi anorganik (dapat membuat makanan sendiri).
Organisme autotrop dibedakan menjadi dua tipe:
-
Fotoautotrop adalah
organisme yang dapat menggunakan sumber energi cahaya untuk mengubah bahan
anorganik menjadi bahan organik. Contohnya adalah tumbuhan hijau pada ekosistem
estuari.
-
Kemoautotrop adalah
organisme yang dapat memanfaatkan energi dari reaksi kimia untuk membuat
makanan sendiri dari bahan organik(Welch, 1953).
Berbagai organisme autotrof ini
bertindak sebagai produsen, karena kemampuannya untuk mengubah zat anorganik
menjadi organik yang dibutuhkan oleh organisme lain yang dapat pula disebut
sebagai produsen. Di dalam ekosistem estuari dapat dijumpai berbagai jenis
produsen primer. Pada paparan pasir atau lumpur, dapat dijumpai lamun (Enhalus acoroides) yang merupakan
tumbuhan berbunga, dan beberapa jenis alga, antara lain alga berfilamen seperti
Enteromorpha sp. dan Padina sp. Di dalam kolam air estuari
dijumpai fitoplankton, seperti diatom atau dinoflagellata.
b. Organisme heterotrop, adalah organisme yang memperoleh
bahan organik dari organisme lain. Contohnya hewan, jamur, dan bakteri
non autotrop dapat disebut sebagai konsumen.
Estuari kaya akan sumber makanan bagi konsumen primer
dari rantai makanan. Sumber makanan utama diperoleh dari besarnya jumlah detritus
yang melimpah di dalam kolam air dan di dasar estuari. Sebagian besar hewan
konsumen primer terdapat di dasar estuari, seperti teritip (Krustasea,
Cirripedia), kerang dan keong (Bivalvia dan Gastropoda) yang berada di
permukaan dasar estuari, ataupun hewan lainnya yang hidup di dalam lumpur,
seperti cacing. Juga tak kalah dengan predator besar, seperti: Baronang,
Kerapu, Kepiting, Cucut, dan Salmon(Nontji, 1993).
c. Organisme Pengurai atau dekomposer
Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang
menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Pengurai
disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran
lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan
melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh
produsen. Termasuk pengurai di daerah estuari adalah kepiting,
kerang-kerangan, bakteri, cacing laut, dan jamur.
Sebagai lingkungan perairan yang
mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar (eurihaline), estuari menyimpan
berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan
perairan ini adalah organisme yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas
tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan estuari
merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsur
terpenting bagi pertumbuhan fitoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari
keunikan lingkungan estuari.
Sebagai kawasan yang sangat kaya
akan unsur hara (nutrient) estuari di kenal dengan sebutan daerah pembesaran
(nursery ground) bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve,
Echinodermata, annelida dan masih banyak lagi kelompok infauna).
Dibandingkan dengan tempat lain, spesies estuaria sangat sedikit.
Variasi sifat
habitat terutama salinitas membuat estuaria menjadi habitat yang keras dan sangat
menekan bagi kehidupan organisme. Untuk dapat hidup dan berhasil membentuk
koloni di daerah ini organism harus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi secara
khusus. Adapun bentuk adaptasi tersebut adalah:
a. Adaptasi Morfologis
Organisme yang mendiami substrat
berlumpur sering kali beradaptasi dengan membentuk rumbai-rumbai halus atau rambut
atau setae yang menjaga jalan masuk keruang pernapasan agar permukaan ruang pernapasan
tidak tersumbat oleh partikel Lumpur.Organisme yang memiliki kemampuan adaptasi
seperti ini adalah kepiting estuaria, dan beberapa anggauta dari Gastropoda. Adaptasi yang lain adalah ukuran
tubuh. Organisme estuaria umumnya mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan
dengan kerabatnya yang hidup di laut. Contohnya adalah kepiting (Ucha)
yang memiliki ukuran kecil, hal ini terjadi karena sebagian besar energi yang
dimilikinya dipergunakan untuk beradaptasi menyesuaikan dengan kadar garam lingkungan.
b. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi yang diperlukan untuk
kelangsungan hidup organism estuaria adalah berhubungan dengan keseimbangan ion
cairan tubuh menghadapi fluktuasi salinitas eksternal. Kemampuan osmoregulasi sangat
diperlukan untuk dapat bertahan hidup. Organisme yang memiliki kemampuan osmoregulasi
dengan baik disebut osmoregulator contohnya Copepoda, Cacing Polychaeta dan
Mollusca. Organisme yang memiliki kemampuan osmoregulasi rendah disebut osmokonformer.
Kemampuan mengatur osmosis menurut beberapa ahli sangat dipengaruhi oleh suhu. Di
daerah tropic dengan suhu air lebih tinggi dan perbedaan suhu antara air tawar dan
air laut kecil, biasanya dihuni oleh species estuaria lebih banyak, dan species
lautan yang stenohalin dapat masuk lebih jauh kehulu.
c. Adaptasi Tingkah
laku
Salah satu bentuk adaptasi tingkah
laku yang dilakukan oleh organism estuaria adalah membuat lubang kedalam
Lumpur. Ada dua keuntungan yang didapatkan dari organisme yang beradaptasi seperti
ini. Pertama, adalah dalam pengaturan osmosis. Keberadaan di dalam lubang berarti
mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan air interstitial yang mempunyai variasi
salinitas dan suhu lebih kecil daripada air di atasnya. Kedua, membenamkan diri
kedalam substrat berarti lebih kecil kemungkinan organism ini dimakan oleh pemangsa yang hidup di permukaan
substrat atau di kolam air. Adaptasi tingkahlaku lainnya adalah dengan cara bergerak
kehulu atau kehilir. Tingkah laku ini akan menjaga organism tetap berada pada daerah
dengan kisaran toleransinya. Contohnya beberapa species kepiting seperti Rajungan
(Calinectessapidus), ikan belanak (Mugilmugil), Ikan baung, Ikan bandeng
dan lain-lain (Kramer, 1994).
Aliran energi dan materi di Estuaria
Aliran Energi
Dalam ilmu
ekologi aliran energi ini terdapat dua hal yang perlu dikaji yaitu: rantai
makanan dan jaring-jaring makanan.
Rantai makanan adalah perpindahan
energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui
jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan
energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu
langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan
perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar energi yang
diperlukan.
Pada ekosistem estuaria dikenal 3
(tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau
bagaimana makanan tersebut dikonsumsi : grazing, detritus dan osmotik. Fauna
diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing
berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang
kompleks (Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa
garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai
cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan
ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk
menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi
vertebrata semi air, yaitu unggas air.
Ada tiga tipe dasar rantai makanan:
1.
Rantai makanan rerumputan (grazing
food chain). Misalnya: tumbuhan
2.
Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati
mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.
3.
osmotik
Dari ketiga macam rantai makanan ini, akan mempengaruhi
organisme satu dengan lainnya.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling
terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar
komunitas. Selain itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisme
yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (cahaya matahari,
phytoplankton, zooplankton, larva ikan, ikankecil, ikan besar, binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah
sama banyak seperti jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang
mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada
pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme
pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis
tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai
makanan.
Dalam bagian ini, diuraikan tiga
bagian terbesar dalam rantai makanan yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan
infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai
makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung
keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang
melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur.
Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara
rantai makanan dan tempat berlindungnya (tidal flat; pantai berlumpur).
Keruhnya perairan estuaria
menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya
produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya
sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem
estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk
pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi
organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang
dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus
ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis
cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang
kompleks (Bengen, 2001).
Pada kawasan-kawasan subtripic
sampai daerah dingin, fungsi estuary bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi
berjuta hewan penting, bahkan menjadi titik daerah ruaya bagi jutaan jenis
burung pantai. Kawasan estuary di gunakan sebagai daerah istrahat bagi
perjalanan panjang jutaan burung dalam ruayanya mencari daerah yang ideal untuk
perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh sebagian besar mamalia dan
hewan-hewan lainnya untuk mencari makan.
Jumlah spesies organisme yang
mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang
hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama
disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang
memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain
miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora.
Jaring-jaring makanan
Estuari merupakan tempat
perawatan dan penyediaan makanan bagi ikan-ikan muda yang mempunyai arti
ekonomi tinggi, antara lain ikan muda herrinh (Clupea harengus), ikan pipih (flat fish) mencakup Pleuronectes platessa, dan Platichthys flexus, Bothus lunatus, flounders, serta ikan halibut antara lain Hippoglossus hippoglossus dan Arnaglossus imperalis, dan ikan
menhaden, Brevoortia tyranus. Ikan
pipih, ikan halibut, dan ikan menhaden itu bertelur di estuary. Ikan-ikan
dewasa ditemukan di dasar muara sungai yang tidak ada arus yang kuat. Pada saat
air pasang ikan-ikan ikut naik ke atas dan masuk di estuari. Ikan-ikan muda
mendapat perawatan dan makanan di estuari yang kaya makanan. Jaring-jaring
makanan ikan dalam estuari dapat dilukiskan sebagai berikut:
Vegetasi (Spartina sp., Juncus sp., Destichlis sp., Puccinella sp., Enteromorpha sp.,
Zoostera sp., Salicarma sp., Armeria sp., Spergularia sp., Limonium sp.,)
yang hidup di estuari itu jarang sekali dimakan herbivora. Juga bila ada pohon
bakau, maka tumbuhan itu juga tidak dimakan hewan. Oleh sebab itu perairan
estuari dan juga payau-payau itu sebenarnya merupakan daerah yang kaya makanan
bagi plankton dan invertebrata yang merupakan makanan bagi ikan. Vegetasi di
daerah estuari juga menyediakan makanan bagi belalang, dan gastropoda yang
jumlahnya biasanya tinggi di musim panas justru di waktu ikan-ikan itu bertelur
dan berbiak cepat dengan persediaan makanan yang berlimpah(Brotowidjojo,1995).
Aliran
Materi
a.
Siklus Karbon
Di atmosfer terdapat kandungan CO2
sebanyak 0.03%. Sumber-sumber CO2 di udara berasal dari respirasi
manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik.
Karbondioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan
menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk
berespirasi.
Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam
waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan
dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar CO2
di udara. Di ekosistem air,pertukaran CO2 dengan atmosfer berjalan
secara tidak langsung. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk asam
karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber
karbon bagi alga yang memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme
heterotrof lain.Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, CO2 yang
mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah
seimbang dengan jumlah CO2 di air.
Gambar 1. Diagram dari siklus karbon
Angka dengan warna hitam menyatakan berapa
banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton
("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan
berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen,
sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan
karbonat dan kerogen. Keberadaan karbon di pantai sumbernya oleh (Dahuri et al, 2001) menggambarkan datang dari
adanya diffusi (dissolved), organisme laut yang sudah mati (particulate), dan
sampah-sampah di wilayah estuari serta berasal dari daratan.
Kontribusi aliran karbon dari
daratan adalah C/N > 10, sedangkan dari perairan sendiri sebesar C/N < 6,
penyebabnya tingginya variasi tersebut diakibatkan oleh tingginya pasokan air
tawar dari sungai dan sumber karbon itu sendiri (Bengen,
2001). Selanjutnya, sumber di dalam (internal sources) akibat adanya
proses dissolved dan particulate (gambar 6) dari karbon itu sendiri termasuk
daur ulang partikel, exudation from producers, terlepas sel yang patah dan
kotoran-kotoran konsumer (Dahuri et al, 2001).
b. Siklus Nitrogen
Gas nitrogen banyak terdapat di
atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi
terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan
beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen
atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Tumbuhan memperoleh nitrogen dari
dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (NO2- ),
dan ion nitrat (NO3- ). Gas nitrogen tidak dapat
digunakan secara langsung oleh sebagian besar organisme sebelum ditransformasi
yang melibatkan menjadi senyawa NH3, NH4, dan NO3
sebelum digunakan dalam siklus.
Pada tumbuhan dan hewan, senyawa
nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. Dalam ekosistem
terdapat suatu daur antara organisme dan lingkungan fisiknya. Beberapa bakteri
yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain,
misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah
yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang
bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob.Nostoc sp.
dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Di dalam
setiap daur, terdapat gudang cadangan utama unsur yang secara terus menerus
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Selain itu, terdapat pula tempat
pembuangan sejumlah unsur kimia tertentu yang tidak dapat didaur ulang melalui
proses biasa. Dalam waktu yang lama, kehilangan bahan kimia tersebut menjadi
faktor pembatas, kecuali apabila tempat pembuangan itu dimanfaatkan kembali.
Pada akhirnya, daur bolak balik ini cenderung mempunyai mekanisme umpan balik
yang dapat mengatur dirinya sendiri (self regulating) yang menjaga
siklus tersebut agar tetap seimbang. Diantara beberapa siklus biogeokimia
lainnya seperti siklus fosfor dan sulfur, siklus nitrogen adalah siklus
biokimia yang sangat kompleks. Gambar berikut memperlihatkan tiga diagram
siklus nitrogen yang sangat kompleks tersebut. Nitrogen di perairan sebagai
molekul N2 terlarut, amonium , Nitrit , Nitrat dan sebagai bentuk
organik seperti urea, asam amino, serta range berbeda(Spencer, 1975).
c. Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua
bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa
fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan
yang mati diuraikan oleh decomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat
anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap
di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan
fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik
terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh
akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus(Spencer, 1975).
Faktor
Pembatas
Sebagai sebuah ekosistem yang
kompleks, tentunya estuari memiliki parameter fisik dan kimia tersendiri yang
nantinya akan berpengaruh pada kemampuan atau toleransi kehidupan biota yang
terdapat disana. Beberapa faktor fisik, kimia, maupun biotik lingkungan yang
dapat menjadi faktor pembatas dalam ekosistem estuari adalah:
a. Salinitas
Tingkat salinitas estuari berubah
dari waktu kewaktu dikarenakan oleh iklim, topografi
estuari, pasang surut air laut, dan volume air tawar yang masuk. Di daerah
tropis seperti di Indonesia memiliki iklim tropis dan pasang surut diurnal (dua
kali pasang dan surut) dalam waktu sehari semalam yang menyebabkan terjadinya
fluktuasi salinitas yang mana waktu terjadinya cukup pendek sekitar 6 jam.
Faktor pertama pengaruh salinitas
adalah fenomena pasang air laut yang besar mendorong air laut masuk cukup besar
dan sampai ke daerah hulu sungai. Sebaliknya apabila pasang sudah turun, maka
keadaan isohaline kembali ke daerah hilir saja. Hal ini menyebabkan pada daerah
yang sama di daerah estuari meimiliki salinitas yang berbeda pada waktu yang
berbeda sesuai perubahan akibat pasang
surut air laut dan volume air tawar yang masuk.
Faktor kedua yang mempengaruhi
tingkat salinitas adalah kekuatan coriolis, yaitu terjadinya pembelokan arah
gerak melingkar akibat rotasi bumi mengelilingi sumbunya. Berputarnya bumi pada
porosnya mengakibatkan perubahan arah gerakan air laut yang masuk ke daratan
(muara sungai), membelokannya kearah kanan dibelahan bumi sebelah utara dan
kearah kiri pada belahan bumi bagian selatan. Sebagai contoh di daerah estuaria
di sekitar pulau jawa bagian selatan, kekuatan coriolis akan membelokkan air
laut yang masuk ke estuaria kea rah kiri apabila kita melihat estuaria ke arah
laut. Akibatnya, pada dua titik yang berlawanan dan teletak pada jarak yang
sama dari laut akan memiliki salinitas yang berbeda.
Faktor ke tiga yang menyebabkan
fluktuasi salinitas di estuarin adalah musim. Di Indonesia dengan dua Faktor ke
tiga yang menyebabkan fluktuasi salinitas di estuarin adalah musim. Di
Indonesia dengan dua musim yang berbeda dalam setahun akan menyebabkan
perbedaan salinitas sebagai akibat berubahnya volume air tawar dan berubahnya
intensitas cahaya matahari.
Berdasarkan beberapa pengaruh kimia
dan fisik terhadap fluktuasi salinitas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
ekosistem perairan estuarin terbentuk 3 zona yaitu: air tawar, air payau, dan
air laut. Antara zona-zona ini terdapat garispemisah yang hanya dapat dilewati
oleh organisme yang memiliki kemampuan adaptasi fisiologi tertentu.
b. Suhu
Suhu air estuaria memiliki fluktuasi
harian lebih besar dibanding dengan perairan lainnya. Hal ini disebabkan karena
luas permukaan estuaria relatif lebih besar jika dibandingkan dengan volume
airnya. Air estuaria cenderung lebih cepat panas dan lebih cepat dingin tergantung
kondisi atmosfir yang melingkupinya. Alasan lain bervariasinya suhu pada
ekosistem estuarin adalah karena masuknya air tawar yang suhunya lebih
dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman. Selain itu suhu di estuaria juga
bervariasi secara vertikal karena pengaruh fluktuasi suhu harian. Perairan
permukaan cenderung mempunyai kisaran suhu terbesar dibanding dengan perairan
yang lebih dalam.
c. Ombak dan Arus
Terjadinya ombak tergantung pada
luas permukaan perairan dan juga angin. Estuaria memiliki luas perairan terbuka
yang sempit karena dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya, dengan demikian
angin yang bertiup untuk menciptakan ombak juga minimal. Kedalaman dan
sempitnya mulut estuaria juga menjadi penghalang terbentuknya ombak yang besar
atau menghilangkan pengaruh ombak laut yang masuk estuaria. Arus di estuaria
cenderung disebabkan oleh aksi pasang air laut dan aliran sungai. Kecepatan
arus tertinggi terjadi pada bagia tengah sungai/muara dimana hambatan gesek
dengan dasar dan tepian menjadi minimal. Arus di daerah estuaria sering
mengakibatkan timbulnya erosi dan biasanya diikuti oleh pengendapan di mulut
muara. Adanya perbedaan kecepatan arus yang berasal dari sungai dari musim ke
musim menyebabkan perbedaan kecepatan erosi dan pengendapan, sehingga banyak
kasus terutama di beberapa tempat di Indonesia muara sungai bergeser dari
tempat semula.
d. Substrat Dasar
Kebanyakan estuaria didominasi oleh
substrat berlumpur yang berasal dari proses pengendapan material baik yang
dibawa oleh air laut maupun oleh air tawar dari aliran sungai. Air laut dan air
sungai membawa banyak partikel pasir maupun lumpur yang tersuspensi dan
keduanya bertemu di estuaria. Berbagai ion yang berasal dari laut akan mengikat
partikel Lumpur yang terbawa air sungai sehingga menggumpal dan mengendap
sebagai dasar substrat yang khas. Kondisi terlindung estuaria juga didominasi
oleh endapan halus (Lumpur). Di antara endapan lumpur adalah materi organik
sehingga estuaria menjadi tempat yang kaya cadangan bahan makanan bagi
organisme.
e. Kekeruhan (Turbidisitas)
Besarnya jumlah partikel tersuspensi
menyebabkan pada waktu-waktu tertentu terutama pada saat musim penghujan dimana
volume air tawar meningkat dan membawa material akibat erosi menyebabkan
kekeruhan meningkat, demikian juga aktivitas pasang air laut. Kekeruhan
biasanya minimum pada mulut muara dan semakin meningkat kea rah hulu sungai.
Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke
dalam perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer akibat
penurunan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik.
f. DO (kandungan Oksigen)
Kandungan oksigen terlarut daerah
estuaria sangat tergantung beberapa faktor antara lain: suhu, salinitas,
pengadukan, dan aktivitas organisme. Melihat kondisi fisik daerah estuarin,
maka secara umum wilayah ini memiliki kandungan oksigen terlarut relative
tinggi dibanding perairan lain.
Pada musim kemarau yang panjang
dimana penggelontoran air tawar menurun dan suhu serta salinitas relatif tinggi
di permukaan perairan, menyebabkan proses pengadukan dan distribusi oksigen
dari permukaan ke dasar perairan sedikit terhambat sehingga kandungan oksigen
di dasar perairan menurun. Selain itu menurunnya kandungan oksigen di dasar
perairan juga dapat disebabkan karena tingginya bahan organik yang terdeposit
dan tingginya populsi dan individu bakteri di dalam sediment menyebabkan
meningkatnya pemakaian oksigen. Ukuran partikel dalam sediment yang halus juga
membatasi pertukaran air interstitial dan air yang diatasnya (kaya oksigen)
sehingga oksigen sangat cepat berkurang, bahkan pada beberapa sentimeter dalam
sedimen dapat bersifat anoksik.
g. Predasi
Predasi merupakan hubungan antara
mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini memiliki hubungan sangat erat,
karena tanpa mangsa predator tidak bisa bertahan untuk hidup. Jumlah antara
predator dan mangsa berbanding lurus. Semakin banyak predator yang terdapat
dialam tidak diimbangi dengan jumlah yang sama dengan mangsa, maka akan terjadi
ketidak seimbangan alam. Sebaliknya juga bila jumlah mangsa lebih banyak dengan
predator, maka jumlah organisme mangsa lebih banyak dan keseimbangan disini
juga akan terganggu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Predasi disini dapat berfungsi sebagai
pengontrol populasi mangsa. Contoh dalam ekosistem estuari adalah:Ikan yang menjadi predator bagi plankton
daninvertebratadalamekosistemestuari.
h. Jumlah organisme autotrof
Organisme autotrof merupakan organisme yang mampu
menghasilkan zat organik yang dibutuhkan oleh konsumen. Organisme ini tentunya
membutuhkan bahan berupa zat-zat anorganik yang terdapat dialam dengan bantuan
matahari biasa disebut prosesnya yaitu fotsintesis. Sehingga terbentuklah
glukosa yang organik tadi.
Keberadaan autotrof sangat mempengaruhi organisme yang
lain pula. Sebab, apabila organisme ini jumlahnya sedikit bahkan mengalami
peniadaan maka yang terjadi organisme sebagai konsumen akan ikut berkurang
juga. Karena sumber untuk memacu kehidupannya menghilang. Organisme yang
termasuk dalam organisme autotro adalah organisme berklorofil yang terdiri
atas: tumubuhan, bakteri fotosintetik, dan alga fotosintetik(Odum, 1998).
i. Usia
Usia sebgai faktor pembatas organisme ini berhubungan
dengan tingkat produktivitasnya. Produktivitas menunjukkan kemampuan makhluk
hidup untuk melakukan proses metabolisme tubuhnya dan penghasilan energi.
Energi yang digunakan untuk kehidupannya, terdapat rentangan usia tersendiri
pada makhluk hidup agar dia mampu menghasilkan banyak energi. Dikatakan kemampuan
produktivitas tinggi apabila makhluk hidup tersebut dikatakan muda sampai
rentang waktu usia tertentu. Sehingga reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan
pun cepat. Sebaliknya bila makhluk hidup tersebut dikatakan usia telah lanjut,
kemampuan produktivitasnya menurun. Karena kemampuan penghasilan energi pun
menurun sehingga banyak terjadi kematian pada sel organisme tersebut(Odum,
1998).
j. Jumlah Parasit
Parasitisme adalah hubungan antara dua makhluk yang
mana salah satu organisme dirugikan sedangkan yang lain mendapat manfaat.
Parasit merupakan organisme yang mendapat keuntungan dari hubungan ini,
sementara inang yang menjadi rumahnya sangat dirugikan karena hasil metabolisme
dan sari-sari makanan yang ada diambil oleh parasit. Dalam hubungan ini, ukuran
organisme parasit lebih kecil dari inang, sehingga lebih mudah untuk organisme
parasit untuk menghambat kehidupan organisme inang. Berakibat berbahaya bagi
keseimbangan alam, apabila jumlah parasit lebih besar daripada organisme yang
lain (Odum, 1998).
DAFTAR PUSTAKA
Barus, T.A.
2002. Pengantar Limnologi. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
Bengen, D.G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta
Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding
PelatihanPengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
danLautan IPB. Jawa Barat.
Brotowidjoyo, Mukayat D, dkk. 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty.
Dahuri et
al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha.
Knox,G.A.
1986. Estuarine Ecosystem: A System
Approach. Florida: CRC Press
Kramer,
K.J.M.1994. Tidal Estuaries: Manual of
Sampling and Analittycal Procedure. AA Balkema.
Nontji, A, 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan..
Odum,
E.P.1998. Dasar-Dasar Ekologi edisi 4.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Saptarini et
al.1995. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
dan Wilayah Pesisir. Jakarta: Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan.
Spencer, C.P. 1975. The Micronutrient
Ele-ment. In: Chemical
Oceanography 2. J.P. Riley and G.Kinow (Eds). Academic Press London-New
York.
Welch, P.1953. Limnology.
New York: McGraw-Hill book,Co.Inc.