Pulau Sebatik: Dilema Rakyat
di Ujung Negeri
Sebatik merupakan salah satu pulau terluar Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pulau ini menjadi pintu gerbang Indonesia di wilayah
Kalimantan, tepatnya di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, yang berbatasan
lansung dengan negeri Sabah, Malaysia. Pulau Sebatik hanya berjarak 20 menit
dari Nunukan dengan menggunakan speed boat. Merupakan salah satu pulau kecil
terluar dari 31 pulau yang berpenduduk. Pulau ini terbagi dua wilayah antara
Indonesia dan Malaysia dengan pembangunan yang sangat kontras.
Pada 1911-1942, pulau Sebatik merupakan daerah eksploitasi kayu
bagi penjajah Belanda. Saat itu dilakukan pemasangan patok perbatasan
Indonesia-Malaysia oleh Belanda dan kolonial Inggris. Status kepemilikan pulau
Sebatik pun terbagi dua, yaitu wilayah selatan seluas 246,61 Km2 milik
Indonesia dan wilayah utara 187,23 Km2 milik Malaysia.
Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang
membawa keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang
Bunyu. Sekarang terdapat ratusan kepala keluarga tinggal dan menetap di sana.
Potensi sumber daya hayati
Sebatik cukup menjajikan jika dikelola dengan baik, seperti sektor kelautan dan
perikanan (rumput laut dan udang), lahan pertanian, pekebunan (kelapa sawit),
dan wisata tapal batas. Pada jasa kemaritiman, pulau Sebatik berhadapan
langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang merupakancompetitive advantage bagi
pengembangan industri
pelayaran, baik dalam negeri, luar negeri, maupun pelayaran khusus.
Sarana dan prasarana di pulau Sebatik relatif memadai dengan
indikasi kondisi jaringan jalan poros yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan
dan seluruh ibukota kecamatan secara eksisting telah terbentuk melingkar
(mengelilingi pulau) sepanjang ± 79 km. Namun, kebutuhan energi listrik di
pulau tersebut belum terpenuhi secara memadai dan merata. Demikian pula
keberadaan air bersih masih menjadi kebutuhan pokok yang sampai saat ini belum
terakses semua warga. Terdapat PDAM Tirta Darma yang berlokasi di
Kecamatan Sebatik Utara, namun hanya mampu melayani 708 keluarga.
Dalam dua tahun terakhir, terdapat
beberapa isu strategis di wilayah Sebatik yang mengemuka, yaitu isu pergeseran
patok perbatasan dan pemakaian uang ringgit. Bagai “dua sisi mata uang”, isu
ini selalu dianggap sebagai ancaman NKRI. Isu lain yang tidak kalah penting
adalah tidak seimbangnya perkembangan pembangunan wilayah di perbatasan dengan negara tetangga. Contohnya, fakta bahwa
pembangunan Malaysia jauh lebih maju daripada wilayah RI di perbatasan yang
memungkinkan terjadinya degradasi nasionalisme.
Namun, kebijakan terkait kawasan perbatasan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yaitu Perencanaan dalam
Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, ternyata bersifat
makro karena unit analisisnya adalah pulau besar. RPJMN 2010-2014 juga belum
memberikan orientasi bagi pembangunan kawasan perbatasan/PPKT secara terpadu.
Pendekatan sektoral masih lebih dominan dibandingkan pendekatan regional.
Akibatnya, hingga kini belum ada rencana pembangunan yang berorientasi pada
upaya pembangunan kawasan perbatasan yang terintegrasi dan rinci.
Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan
sehingga ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur berada di
Malaysia. Tidak mengherankan juga kemudian sering muncul isu internasional
menyangkut status kepemilikan pulau Sebatik, yang mengakibatkan hubungan
Indonesia dan Malaysia memanas dan mengalami pasang surut. Tetapi masyarakat
Sebatik dan Tawau Malaysia tidak terpengaruh, mereka tetap menjalankan hubungan
yang harmonis, karena sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih
bersaudara, mereka sama-sama berasal dari Bugis.
Secara ekonomi masyarakat Sebatik sangat bergantung kepada
Malaysia, khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan
masyarakat, seperti ikan, sawit dan coklat dijual ke Negeri Jiran. Masyarakat
Sebatik juga membeli berbagai kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tidak heran
jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. Tapi,
warga setempat lebih menyukai ringgit karena nilainya lebih tinggi. Secara
geografis, pulau Sebatik juga lebih dekat ke Tawau yang hanya ditempuh dalam
waktu 15 menit, bila dibandingkan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 30 menit
dengan alat transportasi yang sama dengan ongkos dua kali lipat lebih tinggi.
Perbedaan mencolok yang membuat iri masyarakat Indonesia di
pulau Sebatik adalah jika pada malam hari menyaksikan kota Tawau bermandikan
cahaya dengan gedung-gedung tinggi, sebaliknya masyarakat di pulau Sebatik
gelap-gulita dengan hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali.
Belum lagi ketiadaan jaringan air bersih dan jalan rusak, serta pelayanan
kesehatan dan minimnya pendidikan, menambah terkucilnya masyarakat Sebatik di
tengah gemerlap cahaya kemakmuran Negari Jiran.
Belajar dari sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan,
sengketa blok Ambalat, pengusiran ratusan ribu TKI dan munculnya Asykar
Watanlyah yang direkrut dari warga perbatasan, maka sudah sepantasnya
pemerintah memberikan perhatian lebih pada pulau Sebatik.
Memahami perbatasan adalah tentang mengidentifikasi kontradiksi
inheren yang kritis dari dua realitas yang sulit dipertemukan. Realitas pertama
adalah realitas kartografi yang kaku, dan realitas lainnya, yang
bertolak-belakang adalah realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis. Pemahaman
perbatasan yang kritis ini menjadi sangat penting dalam menyusun alternatif
pembangunan wilayah perbatasan sebagai ‘halaman depan’ yang lebih bermakna,
manusiawi dan substantif.
Hal itu harus menjadi pelajaran dalam perumusan kebijakan
pembangunan, rencana induk atau rencana aksi pengembangan perbatasan ke depan.
Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan menjadi dasar kuat bagi formulasi
kebijakan yang manusiawi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan.
Demikian juga dengan kebijakan pengembangan pulau Sebatik yang diduduki dua
negara. Rencana aksi pengembangan pulau Sebatik selayaknya tidak hanya melihat
wilayah yang menjadi bagian Indonesia, tetapi sebagai satu kesatuan NKRI (Telah
dimuat di Harian Suara Pembaruan Edisi JUmat 22 Februari 2013)
Oleh: Dr. Y. Paonganan, M.Si.
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute