PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah
penduduk terbesar ke empat di dunia. Dengan letak geografisnya yang di apit
oleh benua Asia dan Australia, negara ini dikatan sebagai negara yang memiliki
iklim tropis. Selain beriklim tropis, Indonesia juga dikenal sebagai negara
kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai hingga 17.000-an yang tersebar
diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dengan jumlah penduduk dan
kebudayaan yang beragam. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya serta
memiliki ke indahan alam yang selalu menyuguhkan keindahan tersendiri.
Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan yang
menyangkut manusia, masyarakat, keompok, organisasi, kebudayaan dan sebagainya.
Kajian sosial terhadap kepariwisataan belum begitu lama, hal ini disebabkan
pada awalnya pariwisata lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi dan tujuan
pengembangan kepariwisataan adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik
untuk pemerintah maupun masyarakat karena kepariwisataan menyangkut manusia dan
masyarakat maka kepariwisataan dalam laju pembangunan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aspek social.
Karena makin disadari bahwa pembangunan kepariwisataan tanpa memperhatikan
pertimbangan aspek sosial yang matang akan membawa malapetaka bagi masyarakat,
khususnya di daerah pariwisata.
Terjadinya gempa dan tsunami di Pangandaran merupakan
bencana alam yang menyebabkan dampak bagi wilayah Pangandaran itu sendiri dan
berdampak pada masyarakat Pangandaran. Peristiwa gempa dan tsunami menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Pada paper ini akan membahas bencana alam gempa dan
tsunami yang terjadi di Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006.
PEMBAHASAN
A.
Studi Mekanisme Gempa Bumi Dan Tsunami Pangandaran Secara
Geodetik.
Pada
tanggal 17 juli 2006 telah terjadi gempa di sebelah selatan pantai Pangandaran.
Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG menyatakan
gempa bumi yang terjadi di kawasan pantai Pangandaran tersebut terjadi pada
pukul 15.19 berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), dengan pusat gempa tektonik
pada kedalaman kurang dari 30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur
Timur. Pusat gempa tepatnya berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak
sekitar 150 km, dan merupakan zona pertemuan dua lempeng benua
Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.
Gempa
bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan terjadinya
gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti
Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis,
pantai selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang
Pantai Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah, serta pantai selatan Kab. Bantul,
Yogyakarta. Gempa yang diiringi tsunami ini telah menelan korban jiwa
hingga mencapai ratusan orang dan ratusan lainnya mengalami cedera, dan
puluhan jiwa dinyatakan hilang. Ratusan rumah mulai dari sepanjang
pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur.
Demikian pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata pantai barat Pangandaran.
Gambar setelah terjadinya tsunami di
Pangandaran
Getaran gempa tidak begitu terasa
oleh masyarakat sepanjang pantai. Namun, kepanikan terjadi ketika muncul
gelombang pasang. Akibat air pasang ini, kurang lebih 500 meter dari bibir
pantai Pangandaran terendam hingga ketinggian
sekitar lima meter. Getaran gempa cukup dirasakan oleh
orang-orang yang berada di dalam rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat
sampai Jawa Tengah. Sementara itu menurut catatan dilaporkan di beberapa
kota di Jawa Barat, di gedung berlantai tinggi, gempa cukup terasa.
B.
Sejarah Kegempaan di sekitar Pantai Selatan Jawa.
Bila melihat sejarah, menurut Dani
Hilman (Geotek LIPI), zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude kegempaan
lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas
8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil
dibandingkan Sumatera.”Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas
150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke
arah Pulau Jawa.
Sejarah gempa di Pulau Jawa yang
dimiliki LIPI tidak begitu banyak, hanya untuk rentang waktu 1840-2000.
Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR.
Sedangkan 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan
500 orang lebih. Pusat gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di
Yogyakarta, Mei 2006 lalu, namun magnitude pada 1867 lebih besar dengan
perkiraan 8 SR dibandingkan pada 2006 yang hanya 6,3 SR. Sementara itu pada 11
September 1921 terjadi gempa yang pusatnya berdekatan dengan pusat gempa di
Pangandaran pada bulan juli 2006.
Menurut Kepala Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI, Dr Heri Harjono, sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami
di Selatan Jawa tidak “terekam” secara alami, seperti halnya di pantai barat
Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir pantai barat Sumatera
dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup disana.
Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang
menyebabkan terumbu karang yang naik ke permukaan akan mati. Namun ketika
pesisir itu tenggelam karena proses geologis turun, maka terumbu karang
tersebut akan tumbuh kembali. Dengan mengetahui sejarah terjadinya gempa besar
yang disertai tsunami berdasarkan catatan itu, penduduk paling tidak dapat
mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada bahaya itu.
Sedangkan di pesisir selatan Jawa
tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar daerah ini memiliki
topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan yang
dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu
karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher,
peneliti dari Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan
daerah Pacitan pernah dilanda tsunami.
Dengan melihat fakta informasi yang
minim mengenai kegempaan dan tsunami yang terjadi disekitar pantai selatan
Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga dengan baik potensi
gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul kontradiksi yang
menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya
pernyataan yang mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang
diiringi tsunami di daerah ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih
pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang lebih intensif dilakukan di
sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi kegempaan dan
tsunami di daerah ini. Salah satu kajian yang menarik setelah
terjadinya gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian
mekanisme gempa yang terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan
berbagai metode dan teknologi yang ada.
C.
Studi Mekanisme Gempa Pangandaran 2006 Secara Geodetik.
Sebagai upaya
pembelajaran bagaimana dapat memahami lebih karakteristik kegempaan dan tsunami
di sekitar Pantai Selatan Jawa, untuk selanjutnya dijadikan bahan bagi
langkah penanganan potensi gempa di masa yang datang khususnya di
wilayah Pantai selatan Pangandaran dan sekitarnya, dan umumnya di
deretan pantai selatan Jawa, maka salah satunya perlu untuk dilakukan
penelitian mekanisme gempa bumi dan tsunami Pangandaran yang terjadi pada
tanggal 17 Juli 2006, meski gempanya sudah terjadi.
Untuk melihat mekanisme dari gempa
bumi dan tsunami di pangandaran tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan
memanfaatkan teknologi geodetik seperti Global Positioning System (GPS), untuk
melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempa Bumi
(coseismic dan postseismic). Studi mengenai tahapan coseismic dan
postseismic gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi nilai
potensi energi pasca Bencana Alam gempa bumi, untuk dijadikan
input upaya mitigasi dimasa datang.
Selain pengukuran dengan GPS,
pengukuran tinggi tsunami berdasarkan bukti-bukti fisik di lapangan juga
penting untuk dilakukan untuk memodelkan energi gempa yang menyebabkan tsunami
dengan lebih baik lagi. Sementara itu tak kalah pentingnya mendapatkan
informasi bagaimana penduduk merasakan gempa, getaran seperti apa yang
dirasakan, yang akan menjadi salah satu faktor penting untuk memahami
karakteristik gempa yang terjadi.
Upaya nyata penelitian pasca gempa
di pangandaran 2006 dilakukan oleh KK Geodesi ITB bekerjasama dengan
Tokyo University, Nagoya Univerisity, dan BPPT. Pekerjaan survai lapangan
dilakukan selama kurang lebih 10 hari dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
1) Pengamatan GPS di titik BPN dan
titik lainnya untuk melihat coseismic dan postseismic.
2) Mengukur ketinggian tsunami berdasarkan
bukti fisik di lapangan.
3) Melakukan wawancara dengan penduduk
tentang bagaimana mereka merasakan gempa
Di
bawah ini adalah gambar dokumentasi dari pemasangan alat GPS di titik-titik BPN
dan titik-titik lainnya yang dipilih untuk melihat melihat efek deformasi
coseismik dan postseismic akibat dari gempa yang terjadi di Pangandaran 2006
Sementara itu gambar di bawah ini
menunjukkan dokumentasi kegiatan pengukuran ketinggian tsunami berdasarkan
data-data fisik di lapangan, dan kegiatan wawancara dengan penduduk tentang
bagaimana mereka merasakan gempa pada tanggal 17 juli 2006 yang berujung pada
terjadinya tsunami.
D.
Pengolahan Data Dan Analisis Hasil Penelitian.
Dari hasil pengolahan data GPS
Pangandaran 2006 menggunakan sofware bernese 4.2 memperlihatkan deformasi
coseismic yang cukup kecil besarnya sekitar 2 sentimeter, dengan
pola arah menuju ke pusat gempa di selatan Pantai Pangandaran. Pola
deformasi menunjukkan mekanisme gempa yang biasa terjadi di zona subduksi.
Namun demikian, nilai deformasi yang kecil cukup menarik untuk di kaji lebih
lanjut, mengingat gempa ternyata di barengi dengan tsunami.
Untuk mendapatkan deformasi
postseismic terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran kembali satu atau dua
tahun ke depan setelah gempa. Informasi postseismik akan berguna dalam
mengkaji mekanisme release energy gempa, dan evaluasi pada potensi kegempaan
untuk masa yang akan datang.
Hasil pengolahan data ketinggian
tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan dari sampel yang diambil mulai dari
pantai Pameungpeuk, Cipatujah, Sindangkerta, Pangandaran, Kali Peucang,
hingga pantai Cilacap, yang diolah oleh Tokyo University (Kato et.
Al, 2006), menunjukan ketinggian tsunami ternyata lebih besar nilainya
dibandingkan dengan data hasil pemodelan sementara dari data inversi
seismisitas. Bahkan di beberapa tempat tertentu tinggi tsunami ada
yang mencapai 6 meter lebih.
Hasil wawancara dengan penduduk
tentang getaran gempa yang dirasakan secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa sebagian dari mereka ketika ada di luar rumah dan
sekitar pantai hampir tidak merasakan adanya getaran gempa.
Orang-orang di sekitar pantai selatan yang berada di dalam rumah rata-rata
merasakan adanya getaran gempa. Kemudian informasi penting yaitu jenis
getaran yang lambat (slow shaking) dirasakan oleh mereka.
Dari hasil pengolahan data penelitian
di atas, terlihat bahwa kejadian gempa di Pangandaran 2006 yang disertai
tsunami memberikan mekanisme deformasi coseismic yang kecil (~2cm), kemudian
catatan tinggi tsunami yang lebih besar dari pemodelan data seismisitas, dan
terakhir gempa tidak terasa cukup kuat dan sifat gempa yang dirasakan berupa
getaran lambat (slow shaking). Data-data ini selanjutnya akan digunakan
untuk membuat model coseismic slip dan model tsunami. Kesimpulan
sementara yang dapat menerangkan gempa diikuti tsunami yang terjadi 17 juli
2006 berdasarkan data-data penelitian di atas yaitu kemungkinan tipe gempa-ya
adalah slow earthquake atau tsunami earthquake.
E.
Masalah yang Dihadapi Masyarakat
Setelah Terjadinya Gempa dan Tsunami di Pangandaran.
Dengan adanya tempat wisata di
Pangandaran sangat menguntungkan bagi masyarakat, tidak hanya penduduk sekitar
tetapi juga penduduk yang merupakan mendatang dari luar daerah Pangandaran.
Hampir semua atau rata-rata penduduk Pantai Pangandaran bermata pencaharian
sebagai pedagang ataupun nelayan, karena Pantai Pangandaran adalah salah satu
objek wisata yang cukup banyak digemari oleh pengunjung dari dalam negeri di
berbagai daerah maupun luar negeri. Oleh
karena itu, peluang untuk berdagang sangatlah besar, hampir setiap musim libur
Pantai Pangandaran tidak pernah sepi dari pengunjung. Dan hampir setiap musim
libur itu pula para pengunjung mendapatkan keuntungan dari hasilnya berdagang.
Karena penduduk Pantai Pangandaran
bermukim atau tinggal di salah satu objek wisata yang banyak diminati oleh pengunjung oleh karena peluang
untuk mencari pekerjaan sangatlah banyak, mulai dari berdagang asongan,
pakaian, aksesoris makanan dll. Dan juga mereka menyediakan tempat penginapan
hotel dan motel. Keuntungan yang didapatkan sangatlah menguntungkan bagi para
pedagang yang berdagang. Biasanya para pedagang mengadakan barangnya tidak
hanya diam di tempat tetapi menjualnya ke daerah-daerah lain, biasanya yang
banyak dikirimkan adalah makanan khas pangandaran yaitu asin dan terasi udang,
dan juga aksesoris seperti gantungan kunci, gantungan hp, dll. Dan biasanya
mereka menjala ikan ke tengah laut, tetapi Pantai Pangandaran jarang lengah
atau jarang sepi dari para pengunjung. Dengan adanya pantai tersebut
perekonomian masyarakat Pangandaran meningkat, Pantai sebagai salah satu mata
pencaharian terbesar mereka, jadi tidak salah jika masyarakat sangat menjaga
pantai tersebut.
Namun, karena adanya gempa dan
tsunami yang mengguncang Pangandaran 17 Juli 2006 lalu tersebut, mata pencaharian
masyarakatnya pun hilang. Banyak toko-toko, wisma, hotel, dan tempat penginapan
yang diluluh lantahkan oleh getaran dan ombak yang dahsyat. Dan akhirnya yang
sempat meningkat, kini menjadi turun atau terhambat. Hal itu sangat berdampak
negative bagi kesejahteraan masyrakat setempat.
Selain itu, masyarakat pendatang
menjadi tidak dapat menikmati keindahan pantai karena pantai yang semula berair
jernih, bersih dan nyaman kini penuh dengan bongkahan sisa bangunan dan
sampah-sampah yang berceceran. Para nelayan untuk sementara waktu juga tidak
dapat melaut, karena kapal mereka rusak, serta takut bila sewaktu-waktu akan
terjadi gempa dan tsunami susulan.
KESIMPULAN
Ketika kita menyatakan bahwa gempa
dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter yang terjadi di laut berpotensi
menimbulkan tsunami, itu hanyalah baru sebagai hipotesa awal. Untuk mengetahui
secara lebih baik lagi mekanisme gempa yang berpotensi kita harus banyak
melakukan penelitian. Dari hasil penelitian yang ada sekarang ini muncul
istilah tsunami earthquake atau slow earthquake.
Tsunami earthquake mengambil istilah
dari earthquake atau gempa yang menimbulkan tsunami, sementara slow earthquake
mengambil istilah dari sifat karakteristik getaran gempa yang lambat (slow
shaking) yang dapat menimbulkan tsunami. Secara definisi detail bahwa yang
dimaksud tsunami earthquake atau slow earthquake yaitu gempa yang cukup kuat
(> 6 skala richter) dengan sifat getaran yang lambat (slow shaking) dan
terjadi di laut, kemudian menimbulkan tsunami.
Sifat slow shaking ini yang
memberikan respon terhadap dinamika air yang lebih besar dari pada fast shaking
(getaran yang cepat). Respon besar inilah yang dapat membangkitkan
gelombang tsunami. Getaran yang lambat ini salah satunya dapat disebabkan
oleh tebalnya sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang memberikan efek
lubrikasi ketika gempa terjadi. Sifat getaran yang lambat ini dapat
dicirikan dari rekaman long wavelength seismograf, orang merasakan
getaran/goyangan yang lamban, dan perbedaan ketinggian model tsunami dengan
data fisis di lapangan.
Gempa yang terjadi di Nikaragua
tahun 1992 merupakan contoh slow earthquake - tsunami earthquake, dimana gempa
pada waktu itu menimbulkan tsunami, dan rekaman gelombangseismik memperlihatkan
gelombang long wavelength. Gempa yang terjadi di Pangandaran tahun 2006
mungkin merupakan contoh lain dari slow earthquake-tsunami earthquake apabila
melihat data-data yang ada. Untuk memastikannya maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Dhea. 2013. Hubungan Simbiosis
Mutualisme. http://dheadedott.blogspot.com/2013/01/hubungan-simbiosis-mutualistis-yang.html. diakses pada tanggal 19 Desember 2013
Nugraha, Arya. 2006. Gempa bumi dan tsunami Pangandaran. http://aryanugraha.wordpress.com/2006/07/18/gempa-bumi-dan-tsunami-pangandaran-17-juli-2006/