Rabu, 25 Desember 2013

Gempa dan Tsunami Pangandaran



PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Dengan letak geografisnya yang di apit oleh benua Asia dan Australia, negara ini dikatan sebagai negara yang memiliki iklim tropis. Selain beriklim tropis, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai hingga 17.000-an yang tersebar diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dengan jumlah penduduk dan kebudayaan yang beragam. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya serta memiliki ke indahan alam yang selalu menyuguhkan keindahan tersendiri.
Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, keompok, organisasi, kebudayaan dan sebagainya. Kajian sosial terhadap kepariwisataan belum begitu lama, hal ini disebabkan pada awalnya pariwisata lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi dan tujuan pengembangan kepariwisataan adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik untuk pemerintah maupun masyarakat karena kepariwisataan menyangkut manusia dan masyarakat maka kepariwisataan dalam laju pembangunan tidak  dapat dilepaskan dari pengaruh aspek social. Karena makin disadari bahwa pembangunan kepariwisataan tanpa memperhatikan pertimbangan aspek sosial yang matang akan membawa malapetaka bagi masyarakat, khususnya di daerah pariwisata.
Terjadinya gempa dan tsunami di Pangandaran merupakan bencana alam yang menyebabkan dampak bagi wilayah Pangandaran itu sendiri dan berdampak pada masyarakat Pangandaran. Peristiwa gempa dan tsunami menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pada paper ini akan membahas bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006.




PEMBAHASAN
A.    Studi Mekanisme Gempa Bumi Dan Tsunami Pangandaran Secara Geodetik.
Pada tanggal 17 juli 2006 telah terjadi gempa di sebelah selatan pantai Pangandaran. Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG menyatakan gempa bumi yang terjadi di kawasan pantai Pangandaran tersebut terjadi pada pukul 15.19 berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), dengan pusat gempa tektonik pada kedalaman kurang dari 30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur Timur. Pusat gempa tepatnya berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km, dan merupakan zona pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.
Gempa bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah, serta pantai selatan Kab. Bantul, Yogyakarta.  Gempa yang diiringi tsunami ini telah menelan korban jiwa hingga mencapai ratusan orang dan ratusan lainnya mengalami cedera, dan puluhan jiwa dinyatakan hilang.  Ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur. Demikian pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata pantai barat Pangandaran.
Gambar setelah terjadinya tsunami di Pangandaran
Getaran gempa tidak begitu terasa oleh masyarakat sepanjang pantai. Namun, kepanikan terjadi ketika muncul gelombang pasang. Akibat air pasang ini, kurang lebih 500 meter dari bibir pantai Pangandaran terendam hingga ketinggian sekitar lima meter.  Getaran gempa cukup dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat sampai Jawa Tengah.  Sementara itu menurut catatan dilaporkan di beberapa kota di Jawa Barat, di gedung berlantai tinggi, gempa cukup terasa.
B.     Sejarah Kegempaan di sekitar Pantai Selatan Jawa.
Bila melihat sejarah, menurut Dani Hilman (Geotek LIPI), zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude kegempaan lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan Sumatera.”Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa.
Sejarah gempa di Pulau Jawa yang dimiliki LIPI tidak begitu banyak, hanya untuk rentang waktu 1840-2000.  Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Sedangkan 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan 500 orang lebih. Pusat gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta, Mei 2006 lalu, namun magnitude pada 1867 lebih besar dengan perkiraan 8 SR dibandingkan pada 2006 yang hanya 6,3 SR. Sementara itu pada 11 September 1921 terjadi gempa yang pusatnya berdekatan dengan pusat gempa di Pangandaran pada bulan juli 2006.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr Heri Harjono, sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak “terekam” secara alami, seperti halnya di pantai barat Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir pantai barat Sumatera dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup disana. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang menyebabkan terumbu karang yang naik ke permukaan akan mati. Namun ketika pesisir itu tenggelam karena proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali. Dengan mengetahui sejarah terjadinya gempa besar yang disertai tsunami berdasarkan catatan itu, penduduk paling tidak dapat mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada bahaya itu.
Sedangkan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar daerah ini memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan yang dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher, peneliti dari Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan daerah Pacitan pernah dilanda tsunami.
Dengan melihat fakta informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang terjadi disekitar pantai selatan Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga dengan baik potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul kontradiksi yang menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya pernyataan yang mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang lebih intensif dilakukan di sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi kegempaan dan tsunami di daerah ini.  Salah satu kajian yang menarik setelah terjadinya gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian mekanisme gempa yang terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi yang ada.
C.    Studi Mekanisme Gempa Pangandaran 2006 Secara Geodetik.
Sebagai upaya pembelajaran bagaimana dapat memahami lebih karakteristik kegempaan dan tsunami di sekitar Pantai Selatan Jawa, untuk selanjutnya dijadikan bahan bagi langkah penanganan potensi gempa di masa yang datang khususnya di wilayah Pantai selatan Pangandaran dan sekitarnya, dan umumnya di deretan pantai selatan Jawa, maka salah satunya perlu untuk dilakukan penelitian mekanisme gempa bumi dan tsunami Pangandaran yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006, meski gempanya sudah terjadi. 
Untuk melihat mekanisme dari gempa bumi dan tsunami di pangandaran tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan teknologi geodetik seperti Global Positioning System (GPS), untuk melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempa Bumi (coseismic dan postseismic).  Studi mengenai tahapan coseismic dan postseismic gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi nilai potensi energi pasca Bencana Alam gempa bumi, untuk dijadikan input upaya mitigasi dimasa datang. 
Selain pengukuran dengan GPS, pengukuran tinggi tsunami berdasarkan bukti-bukti fisik di lapangan juga penting untuk dilakukan untuk memodelkan energi gempa yang menyebabkan tsunami dengan lebih baik lagi.  Sementara itu tak kalah pentingnya mendapatkan informasi bagaimana penduduk merasakan gempa, getaran seperti apa yang dirasakan, yang akan menjadi salah satu faktor penting untuk memahami karakteristik gempa yang terjadi.
Upaya nyata penelitian pasca gempa di pangandaran 2006 dilakukan oleh KK Geodesi ITB bekerjasama dengan Tokyo University, Nagoya Univerisity, dan BPPT.  Pekerjaan survai lapangan dilakukan selama kurang lebih 10 hari dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
1)      Pengamatan GPS di titik BPN dan titik lainnya untuk melihat coseismic dan postseismic.
2)      Mengukur ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan.
3)      Melakukan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa
Di bawah ini adalah gambar dokumentasi dari pemasangan alat GPS di titik-titik BPN dan titik-titik lainnya yang dipilih untuk melihat melihat efek deformasi coseismik dan postseismic akibat dari gempa yang terjadi di Pangandaran 2006


Sementara itu gambar di bawah ini menunjukkan dokumentasi kegiatan pengukuran ketinggian tsunami berdasarkan data-data fisik di lapangan, dan kegiatan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa pada tanggal 17 juli 2006 yang berujung pada terjadinya tsunami.



D.    Pengolahan Data Dan Analisis Hasil Penelitian.
Dari hasil pengolahan data GPS Pangandaran 2006 menggunakan sofware bernese 4.2 memperlihatkan deformasi coseismic yang cukup kecil besarnya sekitar 2 sentimeter, dengan pola arah menuju ke pusat gempa di selatan Pantai Pangandaran.  Pola deformasi menunjukkan mekanisme gempa yang biasa terjadi di zona subduksi. Namun demikian, nilai deformasi yang kecil cukup menarik untuk di kaji lebih lanjut, mengingat gempa ternyata di barengi dengan tsunami.
Untuk mendapatkan deformasi postseismic terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran kembali satu atau dua tahun ke depan setelah gempa.  Informasi postseismik akan berguna dalam mengkaji mekanisme release energy gempa, dan evaluasi pada potensi kegempaan untuk masa yang akan datang.
Hasil pengolahan data ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan dari sampel yang diambil mulai dari pantai Pameungpeuk, Cipatujah, Sindangkerta, Pangandaran, Kali Peucang, hingga pantai Cilacap, yang diolah oleh Tokyo University (Kato et. Al, 2006), menunjukan ketinggian tsunami ternyata lebih besar nilainya dibandingkan dengan data hasil pemodelan sementara dari data inversi seismisitas.  Bahkan di beberapa tempat tertentu tinggi tsunami ada yang mencapai 6 meter lebih. 
Hasil wawancara dengan penduduk tentang getaran gempa yang dirasakan secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebagian dari mereka ketika ada di luar rumah dan sekitar pantai hampir tidak merasakan adanya getaran gempa.  Orang-orang di sekitar pantai selatan yang berada di dalam rumah rata-rata merasakan adanya getaran gempa.  Kemudian informasi penting yaitu jenis getaran yang lambat (slow shaking) dirasakan oleh mereka.
Dari hasil pengolahan data penelitian di atas, terlihat bahwa kejadian gempa di Pangandaran 2006 yang disertai tsunami memberikan mekanisme deformasi coseismic yang kecil (~2cm), kemudian catatan tinggi tsunami yang lebih besar dari pemodelan data seismisitas, dan terakhir gempa tidak terasa cukup kuat dan sifat gempa yang dirasakan berupa getaran lambat (slow shaking).  Data-data ini selanjutnya akan digunakan untuk membuat model coseismic slip dan model tsunami.  Kesimpulan sementara yang dapat menerangkan gempa diikuti tsunami yang terjadi 17 juli 2006 berdasarkan data-data penelitian di atas yaitu kemungkinan tipe gempa-ya adalah slow earthquake atau tsunami earthquake.
E.     Masalah yang Dihadapi Masyarakat Setelah Terjadinya Gempa dan Tsunami di Pangandaran.
Dengan adanya tempat wisata di Pangandaran sangat menguntungkan bagi masyarakat, tidak hanya penduduk sekitar tetapi juga penduduk yang merupakan mendatang dari luar daerah Pangandaran. Hampir semua atau rata-rata penduduk Pantai Pangandaran bermata pencaharian sebagai pedagang ataupun nelayan, karena Pantai Pangandaran adalah salah satu objek wisata yang cukup banyak digemari oleh pengunjung dari dalam negeri di berbagai daerah  maupun luar negeri. Oleh karena itu, peluang untuk berdagang sangatlah besar, hampir setiap musim libur Pantai Pangandaran tidak pernah sepi dari pengunjung. Dan hampir setiap musim libur itu pula para pengunjung mendapatkan keuntungan dari hasilnya berdagang.
Karena penduduk Pantai Pangandaran bermukim atau tinggal di salah satu objek wisata yang banyak  diminati oleh pengunjung oleh karena peluang untuk mencari pekerjaan sangatlah banyak, mulai dari berdagang asongan, pakaian, aksesoris makanan dll. Dan juga mereka menyediakan tempat penginapan hotel dan motel. Keuntungan yang didapatkan sangatlah menguntungkan bagi para pedagang yang berdagang. Biasanya para pedagang mengadakan barangnya tidak hanya diam di tempat tetapi menjualnya ke daerah-daerah lain, biasanya yang banyak dikirimkan adalah makanan khas pangandaran yaitu asin dan terasi udang, dan juga aksesoris seperti gantungan kunci, gantungan hp, dll. Dan biasanya mereka menjala ikan ke tengah laut, tetapi Pantai Pangandaran jarang lengah atau jarang sepi dari para pengunjung. Dengan adanya pantai tersebut perekonomian masyarakat Pangandaran meningkat, Pantai sebagai salah satu mata pencaharian terbesar mereka, jadi tidak salah jika masyarakat sangat menjaga pantai tersebut.
Namun, karena adanya gempa dan tsunami yang mengguncang Pangandaran 17 Juli 2006 lalu tersebut, mata pencaharian masyarakatnya pun hilang. Banyak toko-toko, wisma, hotel, dan tempat penginapan yang diluluh lantahkan oleh getaran dan ombak yang dahsyat. Dan akhirnya yang sempat meningkat, kini menjadi turun atau terhambat. Hal itu sangat berdampak negative bagi kesejahteraan masyrakat setempat.
Selain itu, masyarakat pendatang menjadi tidak dapat menikmati keindahan pantai karena pantai yang semula berair jernih, bersih dan nyaman kini penuh dengan bongkahan sisa bangunan dan sampah-sampah yang berceceran. Para nelayan untuk sementara waktu juga tidak dapat melaut, karena kapal mereka rusak, serta takut bila sewaktu-waktu akan terjadi gempa dan tsunami susulan.

KESIMPULAN
Ketika kita menyatakan bahwa gempa dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter yang terjadi di laut berpotensi menimbulkan tsunami, itu hanyalah baru sebagai hipotesa awal. Untuk mengetahui secara lebih baik lagi mekanisme gempa yang berpotensi kita harus banyak melakukan penelitian.  Dari hasil penelitian yang ada sekarang ini muncul istilah tsunami earthquake atau slow earthquake.
Tsunami earthquake mengambil istilah dari earthquake atau gempa yang menimbulkan tsunami, sementara slow earthquake mengambil istilah dari sifat karakteristik getaran gempa yang lambat (slow shaking) yang dapat menimbulkan tsunami. Secara definisi detail bahwa yang dimaksud tsunami earthquake atau slow earthquake yaitu gempa yang cukup kuat (> 6 skala richter) dengan sifat getaran yang lambat (slow shaking) dan terjadi di laut, kemudian menimbulkan tsunami.
Sifat slow shaking ini yang memberikan respon terhadap dinamika air yang lebih besar dari pada fast shaking (getaran yang cepat).  Respon besar inilah yang dapat membangkitkan gelombang tsunami.  Getaran yang lambat ini salah satunya dapat disebabkan oleh tebalnya sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang memberikan efek lubrikasi ketika gempa terjadi.  Sifat getaran yang lambat ini dapat dicirikan dari rekaman long wavelength seismograf, orang merasakan getaran/goyangan yang lamban, dan perbedaan ketinggian model tsunami dengan data fisis di lapangan.
Gempa yang terjadi di Nikaragua tahun 1992 merupakan contoh slow earthquake - tsunami earthquake, dimana gempa pada waktu itu menimbulkan tsunami, dan rekaman gelombangseismik memperlihatkan gelombang long wavelength.  Gempa yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 mungkin merupakan contoh lain dari slow earthquake-tsunami earthquake apabila melihat data-data yang ada.  Untuk memastikannya maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Dhea. 2013. Hubungan Simbiosis Mutualisme. http://dheadedott.blogspot.com/2013/01/hubungan-simbiosis-mutualistis-yang.html. diakses pada tanggal 19 Desember 2013

Tidak ada komentar: