Kamis, 30 Mei 2013

Industri Kakao Pada Kecamatan Ajangale



INDUSTRI KAKAO PADA KECAMATAN AJANGALE,
KABUPATEN BONE, SULAWESI SELATAN



                                           Dosen pengampu : Rita Noviani, S.Si, M.Si


 

Disusun oleh:
Nama               : Ana Pangesti
NIM                : K5412008
Prodi               : Pendidikan geografi


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN  ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
TAHUN 2013 

BAB I
PENDAHULUAN

        A.    Latar Belakang

Perkembangan industri yang banyak terlihat dan kita ketahui perkembangan industri perkotaan. Industri-industri di kota-kota berkembang secara pesat dalam skala besar. Hampir sebagian kota besar yang terkenal adalah kota industri. Dapat dilihat pada kota-kota besar di Indonesia.
Industri perdesaan jarang orang yang mengamati perkembangan industri perdesaan. Perkembangan-perkembangan yang terjadi bertahap sedikit demi sedikit, sehingga tampak statis tidak begitu terlihat perkembangan industri perdesaan.
Sebagian besar pekerjaan perdesaan pada sektor pertanian. Berkembang menuju sektor industri. Perkembangan industri perdesaan dari sektor pertanian menuju industri. Walaupun masih dalam skala kecil perkembangan industri perdesaan.
Dalam perkembangannya industri perdesaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, bahan baku, tenaga kerja,modal, tehnologi dan lain-lain. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri perdesaan dapat dikelompokkan menjadi klaster-klaster. Faktor-faktor tersebut didukung oleh potensi yang terdapat pada suatu perdesaan. Tidak menjamin desa yang memiliki potensi untuk industri perdesaan akan berkembang perindustriannya, tergantung pada sumber daya manusianya dalam mengelola potensi yang dimiliki oleh suatu desa.
Semakin berkembang industri perdesaan semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Tingkat ketergantungan dengan kota dapat terkendali tidak sepenuhnya bergantung kepada kota, begitu pula pada sumber daya manusianya kebutuhan akan pekerjaan dapat terpenuhi karena lapangan pekerjaan tersedia di desa.

      B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya industri kakao pada kecamatan Ajangale?
2.  Bagaimana tipologi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale ?
3.      Bagaimana lokasi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale ?

    C.     Tujuan
1.      Mengetahui sejarah terbentuknya industri kakao pada kecamatan Ajangale
2.  Mengetahui tipologi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale
3.   Mengetahui lokasi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Industri Perdesaan
Industri perdesaan merupakan pekerjaan diluar sektor pertanian, sering disebut sebagai  non-farm employment. Pekerjaan pedesaan dibedakan menjadi farm dan non-farm. Non-farm lebih dikenal dengan nama off-farm, sehingga perdesaan sering pula disebut sebagai pekerjaan off-farm.
Farm dan non-farm mempunyai basis pemisahan pada jenis kegiatan ekonomi pertanian dan non-pertanian. Konsep on-farm dan off-farm, pada prinsipnya merujuk pada lokasi kegiatan. On-farm land, di lahan pertanian atau pengertian secara umum adalah didaerah pedesaan. Off-farm land, pada skala mikro merujuk pada lokasi diluar lahan pertanian, atau pada skala luas merujuk pada diluar wilayah perdesaan. Kombinasi dari jenis dan lokasi kegiatan cukup untuk membuat pengelompokkan pekerjaan didesa.
Industri pedesaan menurut Undang- Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian: industri kecil yang berlokasi di pedesaan yang terutama mengolah hasil-hasil pertanian dan komoditi lain yang dihasilkan di pedesaan.
ESCAP (1987) menyebutkan: rural industries will be small scale, and labour rather than capital-intensive.
UNDP (1988) mendefinisikan: micro-enterprise (0-4 employees) and small-enterprises (5-25 employees) and location in villages, small towns, and those larger urban concentrating that still retain many rural characteristics

B.    Perkembangan Industri Pedesaan
Pengelompokkan jenis industry yang berbeda di Indonesia disusun oleh Departemen Perindustrian dan Badan Pusat Statistik. Departemen Perindustrian mengelompokkan jenis usaha yang lebih sederhana dan ringkas menjadi 3 kelompok:
1.      Industri Aneka (IA)
2.      Industri Logam Mesin dan Elektronika (ILME)
3.      Industri Kimia (INKIM)
Badan Pusat Statistik mengelompokkan industri ke dalam 8 kelompok besar (major industry division) mengikuti sistem ISIC (Internasional Standar Industrial Classification). Kelompok utama industri dan kodenya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pengelompokan Industri Berdasarkan ISIC
Kode
Major industry division
31
Ind Makanan, minuman dan tembakau/ Manufacture of food, beverages, and tobacco
32
Ind tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki/ Textile, wearing apparel, and leather industry
33
Ind kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk alat-alat rumah tangga dari kayu/ Manufacture of wood and wood products, including furniture fixtures
34
Ind kertas dan barang-barang kertas, percetakan dan penerbitan/
Manufacture of paper and paper products, printing and publishing
35
Ind. Kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan barang-barang dari plastik/ Manufacture of chemicals and chemical goods, ptroleum, coal, rubber, and plastic product
36
Ind barang-barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi dan batu bara/ Manufacture of non-metalic mineral products, except products of petroleum and coal
37
Ind logam dasar/
Basic metal industries
38
Ind barang-barang dari logam, mesin dan perlengkapannya/ manufacture of fabricated metal producys, machinery, and equipment
39
Ind pengolahan lainnya
Sumber : BPS.1994.Statistik Industri Kecil Small Scale Manufacturieng Industry Statistics
Dengan pendekatan jenis ini produk industri perdesaan dapat dikelompokkan dalam tingkatan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Barang-barang konsumsi yang mudah rusak (perishable consumer goods): terutama adalah makanan, mempunyai ciri relatif sederhana, harganya cukup murah, untuk pemakaian jangka pendek.
b.      Barang-barang konsumsi yang lebih tahan lama (more durable consumer goods) terutama adalah produk-produk hasil pertanian non-pangan seperti kayu, kertas, dan tekstil dan produk barang galian bukan metal seperti keramik dan gipsum, untuk kebutuhan rumah tangga, alat-alat, perabot dan furnitur rumahtangga, harga lebih mahal, untuk penggunaan jangka menengah, secara teknis lebih rumit dan membutuhkan waktu lebih lama pengerjaannya.
c.       Barang-barang konsumsi tahan lama (durable consumer goods) secara teknis kompleks, lebih mahal, untuk penggunaan-penggunaan jangka panjang, terutama kelompok logam.
d.      Barang-barang modal dan bahan antara (intermediate & capital goods) bisa meliputi semua kategori kelompok industri di atas tetapi bukan untuk kepentingan konsumsi, diproduksi untuk konsumsi perusahaan atau proses produksi.

C.     Bahan Baku
1.      Bahan Baku (Main Material)
Bahan Baku adalah bahan utama yang digunakan dalam proses produksi. Bahan ini tergantung pada jenis usahanya. Sesuai dengan konsep industri, bahan baku yang diolah dapat berupa bahan mentah (raw-material)atau bahan yang telah terolah menjadi produk setengah jadi (semi finished product). Bahan baku dapa dibedakan menjadi 2 yaitu:
a.       Bahan Mentah
Bahan yang belum mengalami pengolahan dan transformasi bentuk.

b.      Bahan Setengah Jadi
Adalah bahan mentah yang terolah dan mengalami transformasi menjadi produk setengah jadi atau produk akhir yang siap konsumsi diperlukan pengolahan tambahan.
2.      Bahan Tambahan (Additional Material)
adalah bahan diluar bahan utama yang ditambahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk jadi maupun setengah jadi sesuai dengan target produksi industri pengolahan yang bersangkutan. Bahan tambahan disebut pula dengan bahan penolong atau bahan antara.
3.      Sumberdaya dan Energi
Adalah berbagai jenis sumber yang menggerakan proses produksi baik yang langsung berkenaan dengan produk atau melalui instrumen tertentu.
4.      Asal dan cara pengadaan bahan
Pada awal perkembangannya, industri perdesaan cenderung berorientasi pada keberadaan sumberdaya, bahkan sejumlah industri tradisional menggunakan sumber bahan yang dimiliki sendiri.
Industri yang berorientasi pada keberadaan sumberdaya pada umumnya mendekatkan diri pada lokasi sumberdaya tersebut. Ada kecenderunbgab perkembangan selanjutnya adalah bahwa bahan baku setempat tidak lagi mencukupi kebutuhan baik karena perkembangannya unit usaha industri, atau semakin banyaknya permintaan dan ketersediaan bahan ini ditutupi dengan mendatangkan bahan dari luar daerah.
Kondisi tersebut bisa digunakan untuk identifikasi perkembangan industri. Semakin maju industri semakin besar proporsi penggunaan sumber-sumber bahan berasal dari non-lokal, baik dalam lingkup rgional dan nasional. Pendekatan perkembangan industri dengan bahan baku sering dikombinasikan dengan pemasaran. Dalam hal ini pemasaran produk ke luar daerah (non-lokal) diasumsikan lebih berkembang dibandingkan dengan pemasaran lokal.
Asumsi ini berdasarkan theori economic base. Jenis-jenis industri yang tergolong basis yaitu yang menjangkau pasar luar daerah/non-lokal dipandang lebih maju perkembangannya dibandingkan yang memasarkan produknya dipasarlokal. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa industri yang menjangkau pasar luar daerah akan menghasilkan aliran modal ke daerah terebut yang berarti meningkatnya investasi dan menguatkan dorongan perkembangan sektor ekonomi lainnya.
Sumber bahan
Jangkauan Pemasaran
Lokal
Non-lokal
Lokal
I
(kurang berkembang)
II
(perkembangan sedang)
Non-lokal
II
(perkembangan sedang)
III
(perkembangan baik)

D.     Tenaga Kerja Industri Pedesaan
Tenaga kerja pada industri perdesaan dapat dibedakan menurut jenis, kualitas, dan kuantitasnya. Perbedaan dalam tenaga kerja untuk menunjukkan perbedaan potensi perkembangannya. Berdasarkan jenis tenaga kerja, pada industri perdesaan terdapat dua kategori utama yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja upahan. Industri yang lebih maju menggunakan tenaga kerja upahan, yang kurang berkembang lebih mengkombinasikan antara tenaga kerja upahan dan tenaga kerja keluarga, industri tradisional menggunakan tenaga kerja keluarga atau pekerjaan dilakukan sendiri.
Kualitas tenaga kerja sebagai pendekatan identifikasi perkembangan industri perdesaan juga bisa digambarkan dari seberapa jauh spesialisasi kerja berlangsung dalam suatu usaha. Semakin maju industri, semakin nampak ciri-ciri industri formal dalam kualitas tenaga kerjanya yaitu semakin jelas spesialisasi dan semakin lengkap pembagian kerja.
Pada sisi kuantitas, jumlah tenaga kerja dapat digunakan untuk mengelompokkan industri berdasarkan skala usaha. Besarnya tenaga kerja per unit usaha akan merepresentasikan skala usah dan tingkat kemjuan usaha industri. Besaran tenaga kerja yang dimaksud bisa dalam nilai absolut dengan mengelompokkannya dalam kelas dan kategori usaha atau membandingkan rerata tenaga kerja per unit usaha.
Asal tenaga kerja, dapat dibedakan menjadi tenaga domestik, tenaga setempat, dan tenaga dariluar daerah. Industri perdesaan yang kurang prospektif dan masih dalam tahap awal pada umumnya didominasi tenaga kerja domestik. Semakin maju industri, akan semakin dominan penggunaan tenaga kerja upahan dari luar daerah. Kondisi ini disebabkan oleh semakin formalnya hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja, selain semakin terspesialisasinya bidang tugas tenaga kerja.
Ketrampilan pekerja merupakan salah satu unsur penting dalam proses produksi, sehingga semakin tinggi ketrampilan seorang pekerja diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas produk, efisiensi serta produktivitasnya.

E.    Modal Usaha
Modal merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Dengan melihat struktur modal suatu usaha industri, dapat diketahui kondisi pengelolaan dan skala usahanya.
Berdasarkan peeriodenya, modal dibedakan menjadi dua yaitu modal awal dan modal yang berlangsung. Modal awal merupakan modal yang ditanamkan untuk memulai usaha. Modal yang berlangsung yaitu besarnya modal yang dipergunakan dalam operasionalisasi usaha.
Modal sering dinyatakan sebagai masalah yang umum dijumpai dalam pengembangan industri perdesaan. Namun akurasi pernyataan ini masih menjadi kontroversi mengingat banyaknya scheme pinjaman lunak yang tidak termanfaatkan. Ada dua kemungkinan untuk menjelaskan kondisi ini. Petama akses, prosedur, dan persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh pengusaha industri perdesaan. Kedua, kurangnya kemampuan pengusaha untuk menjamin bahwa pinjaman modal lunak bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produktif dan bukan untuk kegiatan konsumtif.
1.      Jenis Modal
Berdasarkan waktu atau periodenya, modal dibedakan menjadi dua yaitu:
a.       Modal awal yaitu nilai modal yang ditanamkan untuk memulai usaha.
b.      Modal yang berlangsung yaitu besarnya modal yang dipergunakan dalam operasional usaha pada kondisi yang terakhir.
Berdasarkan penggunaannya modal juga dibedakan menjadi dua yaitu:
a.       Modal tetap yaitu nilai modal yang ditanamkan untuk pengadaan aset produksi yang berupa tempat usaha dan peralatan produksi serta fasilitas pendukung lainnya.
b.      Modal kerja yaitu nilai modal yang dibelanjakan untuk operasional usaha industri secara reguler.
2.      Sumber Modal
Derajat formalitas sumber modal bagi industri perdesaan akan merepresentasikan tingkat kemajuannya. Terdapat kecenderungan bahwa semakin formal sumber modal udara semakain maju usaha tersebut. Hal ini bersesuaian dengan industri modern yang sumber modal usahanya dari sumber formal yaitu perbankan. Secara garis besar, sumber modal dibedakan menjadi dua kategori yaitu:
a.       Sumber domestik, yaitu sumber yang berada pada lingkup rumahtangga atau keluarga seperti orang tua, saudara, atau modal milik pribadi, sumber modal ini dipandang kurang memotivasi kemajuan usaha.
b.      Sumber modal dari lembaga formal, misalnya bank atau KUD akan menempatkan pengusaha pada pola dan motivasi kerja yang lebih baik agar bisa mempertanggungjawabkan pinjamannya dalam periode angsuran pinjaman yang ditentukan.

F.     Teknologi Produksi
1.      Klasifikasi Teknologi
Perubahan teknologi produksi perdesaan sering dipandang lambat. Pada kelompok-kelompok industri kerajinan, teknologi sering masih bersifat tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, hampir tanpa peningkatan. Sebab utama kelambatan ini pada sisi internal sering dinisbahkan pada rendahnya keusahawanan berupa keterbatasan wawasan dan kecenderungan untuk bersikap menjaga stabilitas produksi dibandingkan menempuh suatu risiko.
Pada sisi ksternal, sebab kurangnya perkmbangan teknologi juga berasal dari kurangnya upaya-upaya dilakukan untuk menciptakan teknologi produksi yang sesuai dengan kebutuhan industri perdesaan, keterbatasan dalam upaya penyebaran dan sosialisasi, serta penyuluhan informasi tentang perkembangan produksi.


Berdasarkan pada penelitian terhadap teknologi produksi yang digunakan, bisa dibedakan tipologi industri perdesaan menjadi:
a.       Teknologi terapan
b.      Tknologi maju dan modern
c.       Teknologi tradisional
2.      Teknologi terapan
Teknologi yang lebih sesuai dengan keadaan industri perdesaan skala kecil adalah teknologi terapan yaitu jenis teknologi produksi yang lebih menekankan pada tenaga kerja kurang berketrampilan dibandingkan pada modern. Ini sesuai dengan negara berkembang yang tidak punya cukup sumber modal dan pengetahuan teknik untuk mengembangkan teknologinya.
3.      Otomasi Teknologi
Klasifikasi teknologi dalam tipe tradisional, terapan dan modern dapat diidentifikasi dengan membedakan tingkat penggunaan tenaga manusia (manual) dan penggunaan sarana yang mendorong otomasi dengan daya yang dibangkitkan dari energi minyak bumi atau daya kelistrikan sehingga terjadi proses otomasi. Teknologi tradisional hampir keseluruhan proses produksinya menggunakan tenaga manual belum ada sistem otomasi.

G.      Produksi
Dalam suatu komunitas industri perdesaan pada jenis produksi yang sama, sering dijumpai variasi dalam corak produksinya. Secara umum perbedaan corak ini dibedakan ke dalam dua kategiri yaitu produk tradisional dan produk inovasi.
1.      Produk tradisional adalah produk yang bentuk dan corak desainnya telah berlangsung dan bertahan secara turun temurun bertahan antara generasi. Perubahannya relatif sedikit dan tidak substansial.
2.      Produk Inovasi adalah produk dari bahan utama yang sama seperto produk tradisional, sistem pengolahan dasar yang sama namun dengan corak dan desain yang berbeda dengan yang pada umumnya dilakukan pengusaha di tempat itu.

H.    Pemasaran Produk
Pemasaran hasil produksi merupakan mata rantai paling ujung dari aktivitas kegiatan produksi. Maju mundurnya aktivitas kegiatan produksi, tidak dapat terlepas dari berhasil tidaknya kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh usaha industri. Selain itu dengan melihat wilayah pemasaran dapat diketahui apakah usaha industri skala kecil tersebut telah dapat menembus pasar luar daerah atau hanya bergantung dengan pasar domestik saja. 

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terbentuknya
Pada awal tahun 2009 muncul banyak masalah pada kalangan petani kecamatan Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Petani kecamatan Ajangale tidak dapat memupuk kebun atau sawah mereka, benih juga susah didapat yang tersedia harganya tidak terjangkau petani kecamatan Ajangale. Masalah-masalah tersebut hampir setiap hari petani wacanakan, namun mereka belum juga menemukan solusi dan jalan keluar untuk keluar dari masalah-masalah yang melanda para petani yang ada di Kecamatan Ajangale. Keadaan yang demikian, memunculkan ide untuk bekerja sama membentuk kelompok tani. Pengelompokkan petani dibentuk dan diorganisir dengan baik dan transparan.
Maka dibentuklah pengurus untuk mengorganisis para kelompok tani. Berikut susunan kepengurusan:
1.      Ketua                      : Amirullah
2.      Wakil Ketua            : Rustang
3.      Sekretaris                : Darwis
4.      Bendahara               : Zainal
5.      Wakil Bendahara    : Hajrah
6.      Seksi
·         Saprodi       : Codding
·         Perkreditan : H. Ramli
·         Pemasaran   : Abd.  Samad
Setelah dibuat kepengurusan, para pengurus berkoordinasi dengan pemerintah setempat dan PPL, maka pada tanggal 31 Januari 2009 diadakanlah pertemuan masyarakat-masyarakat tani di dusun kami guna membentuk sebuah kelompok tani kakao secara demokratis dan transparan. Acara tersebut turut dihadiri kepala desa, PPL, dan Camat. Dan atas kebulatan suara maka kelompok tersebut diberi nama “SIPAKATAU” yang beranggotakan 25 orang.
Pada tanggal 03 Juni 2010 kami membentuk “KPP.SIPAKATAU BONE atau GAPOKTAN SIPAKATAU BONE” yang di dalamnya tergabung beberapa kelompok tani dan sepakat memakai sistem dan manajemen yang selama ini dilakukan kelompok tani “SIPAKATAU”.
B.     Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi kakao pada daerah kecamatan Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini adalah kakao yang masih basah diambil langsung dari pohonnya.
Bahan baku kakao diperoleh dari petani setempat yang dikolektif menjadi satu. Untuk saat ini bakan bahan baku dari petani atau dengan kata lain bahan baku lokal masih mencukupi untuk melakukan produksi. Hal itu dikarenakan masih  tahap permulaan dalam skala kecil. 

C.     Tanaga Kerja
Tenaga kerja yang dikerahkan pada industri kakao kecamatan Ajangale terdiri dari pekerja tetap dan pekerja harian. Pekerja tetap berasal dari pengurus, sedangkan untuk pekerja harian berasal dari masyarakat sekitar.
Untuk meningkatkan mutu  buah kakao, pekerja atau petani daerah kecamatan  Ajangale mendapat bantuan dari Gernas. Pemerintah melaksanakan Program Gernas kakao dengan memberikan program intensifikasi, rehabilitas dan unit pengelolaan. Bantuan dari gernas bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan ketrampilan para tenaga kerja.

D.    Modal
Modal menjadi salah satu faktor penting dalam menjalankan suatu industri atau usaha. Modal atau dana sering kali menjadi masalah dalam suatu usaha. Untuk mengurangi masalah pendanaan, masyarakat kecamatan Ajangale bersepakat untuk penetapan sumber pendanaan berasal dari, sumbangan anggota yang ditetapkan berdasarkan rapat anggota dan bersumber dari sumbangan anggota dalam bentuk buah kakao pada setiap kali panen 3-5 buah.
Selain pendanaan berasal dari sumbangan masyarakat setempat, industri kakao mendapat bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan industri kakao.

E.     Teknologi produksi
Pada industri kakao daerah kecamatan Ajangale menggunakan teknologi terapan yaitu dengan menggunakan bak fermentasi dan mesin pengering. Penggunaan teknologi terapan karena di sesuaikan dengan modal dan tenaga kerja yang ada. Bak fermentasi dan mesin pengering harganya relatif murah dibandingkan dengan alat-alat teknologi yang lebih canggih yang pada umumnya semua kegiatan produksi dikerjakan oleh mesin. Selain harga yang disesuaikan dengan modal yang ada, teknologi terapan sesuai dengan kondisi tenaga kerja kecamatan Ajangale. Tenaga kerja yang dibutuhkan cukup dengan ketrampilan yang ada pada daerah setempat atau ketrampilan dapat dibentuk melalui program latihan sederhana.
Teknologi dapat diterapkan pada skala yang sesuai dengan permintaan potensi lokal bagi produk. Perawatan teknologi dapat dilakukan secara lokal tanpa memerlukan ahli dari luar.  Resiko rusakpun minimal.

F.      Produksi
Kakao yang sudah dipetik oleh petani kemudian di salurkan pada pengelola industri. Dari sinilah awal produksi kakao dimulai, kakao yang disetorkan oleh para petani masih dalam bentuk basah kemudian di masukkan ke bak fermentasi. Di dalam bak fermentasi kakao didiamkan selama 5 hari. Setelah itu tahap pengeringan melalui sinar matahari dan mesin pengering. Kakao dimasukkan ke dalam mesin pengering dengan kapasitas 2 ton sampai kadar air dibawah 7. Tahap selanjutnya, kakao dibersihkan dan disortir lalu dikemas dalam karung kemudian kakao siap untuk di masukkan ke dalam gudang. Hasil akhir kakao olahan menjadi kakao fermentasi yang siap untuk di pasarkan.
 
G.    Pemasaraan Produk
Industri kakao di kecamatan Ajangale proses pemasaran awalnya dari petani daerah kecamatan Ajangale di jual kepada pengelola usaha tani daerah setempat, kemudian oleh para pengelola dikolektif. Sebelum disalurkan lagi diolah terlebih dahulu sampai tahap proses fermentasi, sehingga di sebut dengan fermentasi kakao. Setelah menjadi fermentasi kakao, produk tersebut dikirim ke PT bumi tangerang cabang Makasar.

H.    Lokasi
Industri perdesaan berlokasi pada kecamatan Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.


  BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan dari analisis diatas pada bagian pembahasan industri kakao pada kecamatan Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dapat dimasukkan dalam kategori sesuai dengan asal dan pengadaan bahan. Pada Industri kakao sumber bahan baku berasal dari lokal dan jangkauan pemasaran sampai pada luar daerah atau non-lokal, sehingga dapat disimpulkan industri kakao pada kecamatan Ajangale termasuk industri perdesaan tahap perkembangan sedang. Hal ini seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Sumber bahan
Jangkauan Pemasaran
Lokal
Non-lokal
Lokal
I
(kurang berkembang)
II
(perkembangan sedang)
Non-lokal
II
(perkembangan sedang)
III
(perkembangan baik)


DAFTAR PUSTAKA

Sudjoko.2003. PROFIL Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga Tahun 2001.
            Jakarta: Badan Pusat Statistik
Pendidikan Geogerafi UNS. 2008.Bahan Ajar Geografi Industri. Surakarta:
             Universitas  Sebelas Maret
Amrullah.2009.Susunan Pengurus. 
           
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/pengurus.html
Amrullah.2009.Sejarah  terbentuknya.
                http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/sejarah.html
Amrullah.2009. Dana Kelompok.
           
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/dana-kelompok.html