Ekologi dan Ilmu
Lingkungan
Ekosistem Air
Payau dan Permasalahannya
Oleh:
1. Apriyatno K5412012
2. Bambang
Septiawan K5412019
3. Dimas
Yurizandi K5412026
4. Ella
Septiami K5412028
5. Khusnul
Khotimah K5412040
PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ekosistem
dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara suatu komunitas yang
berupa kumpulan spesies atau organisme yang mendiami suatu tempat dengan
lingkungan abiotiknya. Ekosistem merupakan suatu unit ekologi yang di dalamnya
terdapat hubungan antara struktur dan fungsi. Struktur yang dimaksudkan dalam
definisi ekosistem tersebut adalah berhubungan dengan keanekaragaman spesies
(species diversity). Ekosistem yang mempunyai struktur yang kompleks, memiliki
keanekaragaman spesies yang tinggi. Sedangkan istilah fungsi dalam definisi
ekosistem menurut A.G. Tansley berhubungan dengan siklus materi dan arus energi
melalui komponen komponen ekosistem.
Menurut UU
Lingkungan Hidup Tahun 1997, Ekosistem merupakan tatanan kesatuan secara utuh
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.
Unsur-unsur lingkungan hidup baik unsur biotik maupun abiotik, baik makhluk
hidup maupun benda mati, semuanya tersusun sebagai satu kesatuan dalam
ekosistem yang masing-masing tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa hidup
sendiri, melainkan saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling
berinteraksi, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Ekosistem
perairan payau merupakan suatu zona peralihan air tawar dengan air laut, dimana
organisme yang tumbuh didominasi oleh vegetasi hutan bakau atau mangrove.
Estuaria (aestus, air pasang) menurut definisi Pritchard (1967) adalah
suatu badan air setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut
terbuka, dipengaruhi oleh gerakan pasang surut, dimana air laut bercampur
dengan air tawar dari buangan air daratan. Contohnya, muara sungai, teluk
pantai, rawa pasang surut, dan badan air di balik pantai. Ciri-ciri ekosistem
perairan estuari adalah arus yang tenang, residence time yang lama, adanya
stratifikasi suhu, oksigen terlarut lebih rendah dari perairan mengalir, dan
tidak ada adaptasi khusus dari organisme penghuninya. Dari hal tersebut terlihat
bahwa suhu adalah faktor pengontrol yang mempengaruhi aktifitas metabolisme
dalam rantai makanan. Cahaya merupakan faktor abiotik yang sangat menentukan
laju produktifitas primer perairan. Cahaya matahari ini merupakan faktor
pembatas yang cepat memudar karena kedalaman dan kekeruhan (Boyd 1982).
Mangrove
merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi.
Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini
memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting;
misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta
memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan,
reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti
badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas
mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi
dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian
penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan,
dan lain-lain.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu Ekosistem Air Payau?
2.
Apa fungsi dari ekosistem air payau?
3.
Apa contoh Ekosistem Air Payau?
4.
Apa permasalahan yang terdapat di Ekosistem Air Payau?
5.
Bagaimana penyelesaian masalah yang ada di Ekosistem
Air Payau?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui tentang
Ekosistem Air Payau serta fugsinya
2.
Untuk mengetahui
contoh dan permasalahan yang terdapat di Ekosistem Air Payau
3.
Untuk mengetahui
penyelesaian masalah yang terdapat di
Ekosistem Air Payau.
KAJIAN TEORI
A.
Ekosistem
Air Payau
Perairan
payau adalah suatu badan air setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan
laut terbuka, dipengaruhi oleh gerakan pasang surut, dimana air laut bercampur
dengan air tawar dari buangan air daratan, perairan terbuka yang memiliki arus,
serta masih terpengaruh oleh proses-proses yang terjadi di darat. Ekosistem
perairan payau memiliki salinitas yang berada di antara salinitas air laut dan
salinitas air tawar dan tidak mantap. Dari musim ke musim, dari bulan ke bulan
dari hari ke hari, bahkan mungkin dari jam ke jam dapat saja terjadi perubahan.
Perubahan ini disebabkan proses biologis yang terjadi di dalam perairan
tersebut serta adanya interaksi antara perairan tambak dengan lingkungan
sekitarnya. Misalnya ketika hari hujan, air tawar masuk kedalam petakan tambak
menyebabkan kadar garam air tambak menurun. Atau ketika populasi fitoplankton
berkembang pesat akibat pemupukan, kandungan oksigen dalam air tambak pada
malam hari menyusut drastis.
B.
Parameter
Penyusun Perairan Ekosistem Air Payau
Secara umum komponen
penyusun perairan payau terdiri dari komponen abiotik yang meliputi parameter
fisik dan kimia sedangkan komponen biotik meliputi parameter biologi. Semua
karakteristik tersebut merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kelangsungan
hidup organisme ekosistem payau.
1.
Parameter Kimia
Parameter
kimia air payau mencakup konsentrasi zat-zat terlarut seperti oksigen (O2), ion
hidrogen (pH), karbon dioksida (CO2), amonia (NH3), asam sulfida (H2S),
nitrogen dalam bentuk nitrit (NO2-N), dan lain-lain. Beberapa diantara yang
penting dijelaskan seperti di bawah ini.
a.
Oksigen Terlarut
Ikan bandeng
membutuhkan oksigen yang cukup untuk kebutuhan pernafasannya. Oksigen tersebut
harus dalam keadaan terlarut dalam air, karena bandeng tidak dapat mengambil
oksigen langsung dari udara. Ikan bandeng dan organisme-perairan lainnya
mengambil oksigen ini tanpa melibatkan proses kimia.
b.
DO meter (Dissolved
Oxygen Meter)
Oksigen masuk
dalam air payau melalui difusi langsung dari udara, aliran air, termasuk hujan,
dan proses fotosintesa tanaman berhijau daun. Kandungan oksigen dapat menurun
akibat pernafasan organisme dalam air dan perombakan bahan organik. Cuaca
mendung dan tanpa angin dapat menurunkan kandungan oksigen di dalam air. Untuk
kehidupan ikan bandeng dengan nyaman diperlukan kadar oksigen minimum 3 mg per
liter. Oksigen terlarut di dalam air (Dissolved Oxygen = DO). Dapat
diukur dengan titrasi di laboratorium serta dengan metode elektrometri
menggunakan Dissolved Oxygen Meter (DO meter).
c.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman
air payau dinyatakan dengan nilai negatif logaritma ion hidrogen atau nilai
yang dikenal dengan istilah pH.
Kalau
konsentrasi ion hidrogen (H+) tinggi, pH akan rendah, reaksi lebih asam.
Sebaliknya kalau konsentrasi ion hidrogen rendah pH akan tinggi dan reaksi
lebih alkalis. pH air payau sangat dipengaruhi pH tanahnya. Penurunan pH dapat
terjadi selama proses produksi yang disebabkan oleh terbentuknya asam yang
kuat, adanya gas-gas dalam proses perombakan bahan organik, proses metabolisme
perairan dan lain-lain.
d.
Konsentrasi Karbondioksida
Karbondioksida di dalam air
dapat berasal dari:
-
Hasil pernafasan organisme dalam air sendiri
-
Difusi dari udara
-
Terbawa oleh air hujan
-
Terbawa oleh air.
Konsentrasi karbondioksida yang
terlalu tinggi di suatu perairan akan berbahaya bagi makhluk hidup yang
terdapat di perairan tersebut. Bahaya ini meliputi :
-
Gangguan pelepasan CO2 waktu ikan bernafas
-
Gangguan pengambilan O2 waktu ikan bernafas
-
Penurunan pH
Sebaliknya
CO2 yang terlalu sedikit akan berpengaruh negatif kepada fotosintesis karena
gas ini merupakan bahan baku pembentukan glukosa (siklus Calvin-Benson).
Kandungan CO2 yang baik untuk budidaya ikan tidak lebih dari 15 ppm. Pengukuran
CO2 umumnya menggunakan metoda titrasi.
e.
Amonia (NH3)
Amonia di
perairan payau berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea)
dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air; dapat pula berasal
dari dekomposisi bahan organik (tumbuhandan biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia di perairan payau juga
dipengaruhi oleh kadar pH dan suhu. Makin tinggi suhu dan pH air maka makin
tinggi pula konsentrasi NH3. Kadar amonia dapat diukur secara kolorimetri,
yakni membandingkan warna air contoh dengan warna larutan standar setelah
diberi pereaksi tertentu. Biasanya menggunakan alat bantu spectrofotometer.
f.
Asam Sulfida (H2S)
Asam sulfida
yang merupakan salah satu asam belerang; terdapat perairan payau sebagai hasil
proses dekomposisi bahan organik dan air laut yang banyak mengandung sulfat. Kandungan
H2S di perairan payau dapat diukur secara kolorimetri, yakni membandingkan
warna air contoh dengan warna larutan standar setelah diberi pereaksi tertentu.
2.
Parameter Fisika
a.
Salinitas
Salinitas
atau kadar garam adalah konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan
dan menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, bromida dan iodida dikonversi menjadi klorida dan semua bahan
organik telah dioksidasi. Salinitas ini dinyatakan dalam satuan gram/kg air
atau permil (0/00). Nilai salinitas sangat menentukan jenis perairan tersebut,
di alam dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
-
Perairan tawar, salinitas <0,50/00
-
Perairan payau, salinitas >0,50/00 – 300/00
-
Perairan laut, salinitas >300/00
Pada perairan payau dapat
dikelompokkan lagi berdasarkan kisaran salinitas yang ada yaitu:
-
Oligohalin, salinitas 0,50/00 – 3,00/00
-
Mesohalin, salinitas>3,00/00 – 160/00
-
Polyhalin, salinitas >16,00/00 – 300/00
Perubahan
salinitas bisa terjadi sewaktu-waktu. Ketika hujan lebat air tawar masuk ke
dalam tambak. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan salinitas. Peningkatan
salinitas terjadi dikala musim kemarau, pada saat penguapan air tinggi dan
pergantian air terbatas.
b.
Suhu air
Suhu air
sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan organisme di dalam air,
termasuk ikan. Secara umum peningkatan suhu hingga nilai tertentu diikuti
dengan peningkatan pertumbuhan ikan. Di atas nilai tersebut pertumbuhan mulai
terganggu, bahkan pada suhu tertentu ikan mati. Suhu ini berkaitan dengan
kelarutan gas di dalam air, khususnya oksigen. Pada keadaan suhu perairan payau
tinggi, maka kelarutan oksigen terlarut akan rendah. Sebaliknya, proses
metabolisme organisme malah semakin cepat, yang berarti memerlukan oksigen
makin tinggi.
c.
Kecerahan
Kecerahan perairan
payau sangat bergantung kepada banyak sedikitnya partikel (anorganik)
tersuspensi atau kekeruhan dan kepadatan fitoplankton. Kecerahan menggambarkan
transparansi perairan, dapat diukur dengan alat secchi disk. Nilai
kecerahan (yang satuannya meter) sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, waktu pengukuran, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.
C. Sifat-Sifat Ekosistem Air Payau
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air
tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di
estuaria, ataupun menurut waktu. Berikut adalah sifat-sifat ekologis estuaria
secara umum:
1.
Salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang
lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’. Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau..
2.
Laju penguapan air di permukaan, lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir kearah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradient salinitas air nya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.
3.
Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.
4.
Perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat.
5.
Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.
D.
Biota Dan Produktivitas Ekosistem Air Payau
Biota-biota yang hidup di
daerah estuaria harus mampu beradaptasi dengan habitat disana. Seperti
salinitas yang berubah-ubah. kadang-kadang tinggi, kadang-kadang rendah,
sehingga menyebabkan minimnya populasi yang mampu hidup disana. Populasi disana
juga mengadakan migrasi dari air tawar ke air laut, sehingga hal itu merupakan
alasan ekonomi yang utama untuk melestarikan habitat estuaria.
Fauna
Spesies
ikan yang menggunakan estuaria sebagai jalur imigrasi dari laut
ke sungai dan sebaliknya seperti sidat dan ikan
salmon.
a. Flora Air Payau
Contoh
Flora Perairan Payau diantaranya:
Ă˜ Tumbuhan
Lamun (sea grass) di daerah hilir estuaria
Contoh: Zostrea, Thalassia, Cymodocea
Ă˜ Algae
hijau yang tumbuh di dasar perairan.
Contoh: Ulva,, Enteromorpha,
Cladophora
Ă˜ Algae
mikro dan diatom yang hidup sebagai plankton nabati atau hidup melekat pada daun lamun.
Contoh: Nitzchia, Asterionella,
Skeletonema.
Diantara organisme kecil yang menjadi dasar rantai
makanan yaitu: haloplankton yang terdiri dari sedikit species, meroplankton
yang cenderung lebih banyak spesiesnya, hal tersebut mencerminkan keseragaman
habitat estuaria.
Alasan-alasan mengapa
estuaria memiliki produktivitas yang tinggi adalah :
1.
Estueria mendapat keuntungan dari keragaman jenis produsen yang terprogram untuk berfotosintesis sepanjang tahun.
2.
Peranan penting dalam pasang surut dalam menimbulkan suatu ekosistem dengan permukan air berfluktuasi.
3.
Estuaria adalah suatu perangkat nutrient yang
tinggi, yang berstratifikasi dan sebagai penyimpanan dan pendaurulangan nutrient oleh bentos.
Ada tiga komponen fauna di estuaria yaitu
komponen lautan, air tawar, dan air payau. Binatang
laut stenohalin merupakan tipe yang tidak mampu mentolerir perubahan
salinitas. Komponen ini terbatas pada mulut estuaria. Binatang laut eurihalin
membentuk sub kelompok kedua. Spesies ini mampu menembus hulu estuaria.
Komponen air payau terdiri atas polikaeta Nereisdiversicolor, berbagai
tiram (crassostrea), kerang(Macomabalthica), siput kecil (hydrobia), dan udang
(palaemonetes). Komponen terakhir berasal dari air tawar. Organisme ini tidak
dapat mentolerir salinitas di atas 5‰ dan terbatas hulu estuaria.
Spesies yang tinggal di estuaria untuk
sementara seperti larva, beberapa spesies udang dan ikan yang setelah dewasa
berimigrasi ke laut. Spesies ikan yang menggunakan estuaria sebagai jalur
imigrasi dari laut kesungai dan sebaliknya seperti sidat dan ikan salmon.
Jumlah spesies yang mendiami estuaria
sebagaimana yang dikemukakan Barnes (1974), pada umumnya jauh lebih sedikit
daripada yang mendiami habitat air tawar atau air asin di sekitarnya. Hal ini
Karena ketidakmampuan organisme air tawar mentolerir kenaikan salinitas dan
organisme air laut mentolerir penurunan salinitas estuaria.
PEMBAHASAN
A.
Ekosistem
Mangrove
Menurut
Nybakken (1992) organisme yang tumbuh di perairan payau didominasi oleh
vegetasi hutan bakau atau mangrove. Istilah mangrove merupakan perpaduan antara
bahasa portugis mangue (tumbuhan yang tumbuh dipinggir laut) dan
bahasa inggris grove (komunitas tumbuhan yang tumbuh dipinggir laut).
Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh dengan baik pada zona pasang surut
sepanjang garis pantai tropis diantaranya rawa, delta, dan muara sungai.
Sebagian mangrove dijumpai sepanjang garis besar pantai bersubsrat lumpur yang
terbebas dari pengaruh angin dan arus. Mangrove juga dapat tumbuh pada pantai
berpasir, terumbu karang, dan sekitar pulau. Perbedaan antara ekosistem
mangrove dengan sungai dan danau terlihat dari perbedaan salinitas perairan.
Slinitas perairan mangrove lebih tinggi disbanding dengan air tawar karena,
terdapat pencampuran antara air payau dengan air laut (Odum 1993).
Dari segi
biologi mangrove berfungsi sebagai pemelihara keanekaragaman fauna dan sumber
energi utama di daerah mangrove dan sekitarnya. Ekositem mangrove menyokong
kehidupan berbagai fauna karena, hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery
ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan daerah pencari
makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota akuatik
lainnya. Secara fisik, hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai, tebing sungai, sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah
serta sebagai kawasan penahan air. Perakaran dari pohon mangrove yang kokoh
memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, melindungi
pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan. Struktur akar mangrove
yang kusut menjadi perangkap bagi sedimen yang ada disekitarnya. Vegetasi
mangrove yang umumnya tumbuh pada daerah muara yang merupakan daerah pemupukan
sedimen yang berasal dari sungai memiliki kemampuan menyerap dan memanfaatkan
logam berat yang terkandung di dalam subsratnya.
Fungsi
mangrove dari segi ekonomi adalah dapat dilihat dari pemanfaatannya oleh
masyarakat yang tinggal di daerah sekitar hutan mangrove. Tercatat dari sekitar
67 produk yang dapat dimanfaatkan dari hutan mangrove, di antaranya makanan,
minuman, obat-obatan, peralatan rumah tangga, dan pertanian (Aksomkoae 1993).
Pemanfaatan hutan mangrove antara lain untuk kepentingan perdagangan, industry
pariwisata, pertanian, produksi hutan, pemukiman, industri, dan fasilitas
perkapalan walaupun beberapa kegiatan tersebut dapat mengganggu daerah estuary
dan menyebabkan berkurangnya jenis spesies yang hidup di perairan.
B.
Permasalahan
Ekosistem Mangrove
Keberadaan ekosistem mangrove tidak
terlepas dari gangguan atau ancaman-ancaman terhadap kelangsungan hidupnya,
baik berupa ancaman alami maupun ancaman yang datangnya dari manusia. Ancaman
alami seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, sedangkan ancaman dari
manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan mangrove dalam hal
pemanfaatan yang berlebih (Saparinto, 2007).
Adanya tekanan pada ekosistem
mangrove dari dalam disebabkan oleh pertambahan penduduk dan tekanan dari luar
sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi hutan mangrove yang semakin
meningkat sehingga menyebabkan terjadinya perusakan secara menyeluruh (Cahyo, 2007). Kegiatan yang memberikan
sumbangan terbesar tehadap kerusakan mangrove adalah pengambilan kayu untuk
keperluan komersial serta peralihan peruntukan untuk tambak dan pertanian.
Sedangkan kematian mangrove secara alami tidak memberikan data signifikan yang
patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove (Saparinto, 2007).
Secara umum, ada beberapa
permasalahan yang timbul karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat
diberikan oleh ekosistem mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk pengembangan
secara terpadu. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2 (Dahuri, 1996)
Tabel 2.2. Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem
Mangrove
Kegiatan
|
Dampak
|
Ă˜
Tebang Habis
|
Ă˜
Berubahnya komposisi tumbuhan
mangrove
Ă˜
Tidak berfungsinya feeding ground dan nursery ground
|
Ă˜
Pengalihan Aliran Air Tawar
|
Ă˜
Peningkatan salinitas
Ă˜
Menurunnya tingkat kesuburan tanah
|
Ă˜
Konversi Lahan Menjadi Lahan
Pertanian Dan Perikanan
|
Ă˜
Mengancam regenerasi stok ikan
Ă˜
Pencemaran laut oleh bahan
pencemar dari kegiatan pertanian dan perikanan
Ă˜
Pendangkalan perairan pantai
Ă˜
Abrasi
Ă˜
Intrusi air laut
|
Ă˜
Pembuangan Limbah Cair
|
Ă˜
Penurunan kadar oksigen terlarut
|
Ă˜
Pembuangan Limbah Padat
|
Ă˜
Kemungkinan terlapisnya
pneumatofora dan mengakibatkan matinya mangrove
Ă˜
Perembesan bahan-bahan pencemar
dalam sampah padat
|
Ă˜
Tumpahan Minyak
|
Ă˜
Kematian mangrove
|
Ă˜
Penembangan Di Sekitar Kawasan
Mangrove
|
Ă˜
Pengendapan sedimen yang
berlebihan, matinya mangrove
|
C.
Contoh
Kasus Kerusakan Ekosisterm Mangrove
Salah satu contoh kasus kerusakan ekosistem hutan
mangrove adalah di daerah pesisir Kabupaten
Rembang. Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem
mangrove di pesisir Kabupaten Rembang adalah: pertambakan, penebangan
pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan.
a. Pertambakan
udang/ikan dan garam
Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan
faktor utama penyebab hilangnya hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di
pesisir Kabupaten Rembang. Di kawasan ini tambak merupakan pemandangan umum,
baik tambak udang dan bandeng maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak
garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah menjadi tambak bandeng,
sehingga kawasan ini menjadi pemasok bandeng budidaya terbesar di Jawa Tengah
setelah kabupaten tetangga baratnya, Pati. Kawasan pesisir Rembang juga menjadi
penghasil garam terbesar di Jawa Tengah. Pertambakan ditemukan sepanjang pantai
mulai dari Pecangakan hingga Lasem. Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini
dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang
mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove
diubah menjadi areal tambak, meskipun beberapa areal tambak yang jauh dari
bibir pantai tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi,
edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan, sehingga tambak
beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Pertambakan rakyat
secara nyata mempengaruhi keberadaan mangrove di sekitarnya. Pada saat ini
tidak lagi tersisa ekosistem mangrove alami. Ekosistem mangrove yang ada
merupakan ekosistem buatan yang
diupayakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak lain.
b. Penebangan
vegetasi mangrove
Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil besar
bagi kerusakan mangrove di luar hutan, sedangkan penebangan secara tidak
lestari merupakan penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara Pembaruan,
11/08/2002). Di pesisir kabupaten Rembang, tidak ada lagi hutan alami mangrove,
meskipun demikian tumbuhan mangrove hasil restorasi di Pasar Banggi sudah menyerupai
hutan kembali mengingat usianya sudah lebih dari 15 tahun, waktu yang
diperlukan ekositem mangrove yang rusak untuk menyembuhkan diri sebagaimana
kondisi asli. Ekosistem mangrove di kawasan ini relatif terjaga mengingat
adanya perhatian serius dari pemerintah kabupaten dan kelompok-kelompok tani
yang memiliki hak mengelolanya, yakni terdapat kesepakatan bahwa setiap luasan
hutan yang dibuka harus didahului dengan penanaman mangrove hingga kondisi
mapan pada dataran lumpur dan pasir di arah laut. Namun kawasan ini tidak bebas
sama sekali dari ancaman penebangan, terdapat pencurian kayu untuk bangunan
rumah maupun kayu bakar, meskipun demikian besarnya peran kelompok tani dapat
meminimalkan ancaman tersebut. Salah satu kawasan yang dibabat sisa-sisa
ekosistem mangrove untuk pertambakan dapat dijumpai di Pecangakan, Kaliori.
c. Reklamasi
dan sedimentasi
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan
telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa. Di Kabupaten Rembang, reklamasi
pantai untuk kegiatan usaha relatif masih terbatas. Salah satu rencana
reklamasi pantai yang tampaknya akan berdampak serius adalah rencana
pembangunan pelabuhan pendaratan ikan di pusat kota Rembang yang tidak jauh
dari kawasan mangrove Pasar Bangi. Dermaga pelabuhan direncanakan jauh menjorok
di tengah laut, untuk menghindari kawasan mangrove yang dangkal dan berlumpur,
namun aktivitas pelabuhan ikan yang besar dengan segala hiruk-pikuk perahu,
manusia, dan sarana lainnya diyakini akan berdampak pada ekosistem mangrove.
Besarnya volume kedatangan perahu nelayan dapat menimbulkan riak di laut sehingga
menghambat pemantapan bibit baru dan menggerus lumpur yang ada. Kegiatan ini
dipastikan juga akan menghasilkan limbah yang dapat mencemari ekosistem
mangrove.
Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong
terbentuknya ekosistem mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas
dapat merusak ekosistem mangrove karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya
kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di pesisir Kabupaten Rembang
memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah laut, dan memungkinkan
pertumbuhan ekosistem mangrove. Namun sesuai dengan pola masyarakat yang terus
membuka tambak ke arah laut mengikuti arah pertumbuhan mangrove, maka pada
dasarnya perluasan daratan ini tidak menyebabkan bertambah luasnya ekosistem
mangrove, kecuali di Pasar Bangi, yang hutan mangrovenya cenderung lebih sulit
dibuka untuk tambak karena adanya campur tangan kelompok-kelompok tani yang
berusaha mempertahankannya. Sebaliknya perluasan tambak ke arah laut
menyebabkan tambak-tambak lama menjadi terletak jauh dari bibir pantai dan
terjadi perubahan pola hidrologi, air tidak lagi dapat menggenangi tambak pada saat
pasang surut harian, akibat buruknya manajemen drainase. Kawasan tambak ini
pada akhirnya banyak yang dipusokan akibat tingginya biaya operasional dan
tidak lagi ekonomis.
d. Pencemaran
lingkungan
Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di
daratan dapat mencapai kawasan mangrove, karena habitat ini merupakan ekoton
antara laut dan daratan. Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah
industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi
dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Di pesisir
pantai Rembang bahan pencemar yang umum dijumpai di kawasan mangrove adalah
sampah domestik, seperti lembaran plastik, kantung plastik, sisa-sisa tali dan jaring,
botol, kaleng dan lain-lain. Secara khas di pesisir Pasar Bangi, terdapat Ulva
yang dapat mengapung dan menutupi bibit mangrove sehingga mengganggu upaya restorasi.
Menurut Setyawan dkk. (2004) pencemaran logam berat (Fe, Cd, Cr, dan Pb) belum
menjadi ancaman serius kawasan mangrove di pesisir Rembang, selanjutnya Setyawan
dkk. (2005c) juga menyatakan bahwa pupuk kimia (NO3-, NH4+) juga belum menjadi
ancaman bagi ekosistem ini, meskipun demikian perkembangan kota dan pertanian
tetap berpotensi untuk menyumbangkan bahan pencemar di masa depan, termasuk
adanya upaya membangun pelabuhan ikan di Pasar Banggi.
D.
Pencegahan Kerusakan Ekosistem Mangrove
Untuk konservasi hutan mangrove dan
sempadan pantai, Pemerintah RI telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990.
Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan
mangrove adalah kawasan pesisir laut
yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan
kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah
selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara
lain:
1. Penanaman
kembali mangrove
a.
Penanaman mangrove
sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam
pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini
memberikan keuntungan kepada masyarakat
antara lain terbukanya peluang kerja
sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
b. Pengaturan
kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai
dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata
pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
2. Peningkatan
motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove
secara bertanggungjawab.
3. Ijin
usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
4. Peningkatan
pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi.
5. Peningkatan
pendapatan masyarakat pesisir.
6. Program
komunikasi konservasi hutan mangrove.
7. Penegakan
hukum.
8. Perbaikkan
ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam
memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain
itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem dan
pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program
ini.
KESIMPULAN
Mangrove
adalah tenaman penting untuk keseimbangan alam, kestabilan garis pantai, serta
mencegah erosi air laut. Di Indonesia keadaan mangrove sangat memprihatinkan.
Indonesia memiliki hutan mangrove seluas kira-kira sembilan juta hektare.
Namun, 70 persen diantaranya sudah hilang untuk tambak, perkebunan, kelapa
sawit, serta pembangunan pedesaan maupun perkotaan. Konservasi mangrove
merupakan area yang sangat penting,
namun kadang terabaikan begitu saja. Mangrove bukan hanya tentang melindungi
lingkungan, tetapi juga mata pencaharian bagi penduduk desa.
Dalam
program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan
sebagai mediator dan fasilitaor (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang
ditetapkan). Sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil
inisiatif. Oleh karena itu, harus adanya kesadaran dari masyarakat untuk
mememelihara dan melestarikan hutan mangrove bukan malah merusaknya. Jika ingin
membuat tambak harus memperlihatkan ekosistem yang ada agar dapat berjalan
seimbang tanpa harus merusak ekosistem yang sudah ada.
Kita
harus melestarikan hutan bakau atau mangrove yang sudah ada karena banyak fungsi dari hutan mangrove tersebut, yaitu :
habitat jenis-jenis satwa lebih dari 100 jenis burung hidup dihutan mangrove, pelindung
terhadap bencana alam, pengendapan lumpur, penambahan unsur hara, penambat
racun, sumber alam dalam kawasan (in-situ dan luar kawasan (ex-situ), sumber
plasma nutfah, rekreasi dan pariwisata, transportasi, sarana pendidikan dan
penilitian, pemeliharaan proses-proses dan sistem alami, dan memelihara iklim
mikro.
Daftar Pustaka
Setyawan,
AD. 2006. Permasalahan Konservasi
Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163
Raswin, muhammad. 2003. Pembesaran ikan Bandeng, Modul pengelolaan air
tambak. Pdf
Anonim.
2013. Makalah Mangrove; dalam http://mineminecute.wordpress.com/2013/03/16/ makalah-mangrove/,
diakses tanggal 13 November 2013
Anonim.
2009. Ekosistem Estuari; dalam http://geografibaru.blogspot.com/2009/
11/ekosistem-estuari.html, diakses tanggal 13 November 2013
Sagita.
2012. Makalah Ekosistem Hutan Mangrove dan Pesisir Pantai; dalam http://zezesagita
.blogspot.com/2012/02/makalah-ekosistem-hutan-mangrove-dan.html, diakses
tanggal 13 Novemmber 2013
Rahayau
Asih. 2012. Ekosistem Mangroove dan Pantai; dalam http://rahayuasih.wordpress
.com/2012/02/22/ekosistem-mangrove-dan-payau/, diakses tanggal 13 November 2013
Prahastianto,
Fajar. 2011. Karakteristik Ekosistem Perairan Payau; dalam http://fajarprahasti
anto.blogspot.com /2011/09/karakteristik-ekosistem-perairan-payau.html, diakses
tanggal 13 November2013
Kasim, Ma’Ruf. 2005. Pola Percampuran Estuari; dalam fitrianiulfatus.files. wordpress.com/.../mk-ekosistem-air, diakses tanggal 19 November 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem,
diakses tanggal 19 November 2013
Jayarana, Arif. 2010. Menalangi Dampak
Kerusakan Ekosistem Perairan Payau; dalam
http://arifjayarana.blogspot.com/2010/11/menalangi-dampak-kerusakan-ekosistem.html,
diakses tanggal 19 November 2013