INDUSTRI KAKAO
PADA KECAMATAN AJANGALE,
KABUPATEN BONE,
SULAWESI SELATAN
Disusun oleh:
Nama : Ana
Pangesti
NIM : K5412008
Prodi :
Pendidikan geografi
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan
industri yang banyak terlihat dan kita ketahui perkembangan industri perkotaan.
Industri-industri di kota-kota berkembang secara pesat dalam skala besar.
Hampir sebagian kota besar yang terkenal adalah kota industri. Dapat dilihat
pada kota-kota besar di Indonesia.
Industri
perdesaan jarang orang yang mengamati perkembangan industri perdesaan.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi bertahap sedikit demi sedikit, sehingga
tampak statis tidak begitu terlihat perkembangan industri perdesaan.
Sebagian
besar pekerjaan perdesaan pada sektor pertanian. Berkembang menuju sektor
industri. Perkembangan industri perdesaan dari sektor pertanian menuju
industri. Walaupun masih dalam skala kecil perkembangan industri perdesaan.
Dalam
perkembangannya industri perdesaan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya, bahan baku, tenaga kerja,modal, tehnologi dan lain-lain.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri perdesaan
dapat dikelompokkan menjadi klaster-klaster. Faktor-faktor tersebut didukung
oleh potensi yang terdapat pada suatu perdesaan. Tidak menjamin desa yang
memiliki potensi untuk industri perdesaan akan berkembang perindustriannya,
tergantung pada sumber daya manusianya dalam mengelola potensi yang dimiliki
oleh suatu desa.
Semakin
berkembang industri perdesaan semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Tingkat ketergantungan dengan kota dapat terkendali tidak sepenuhnya
bergantung kepada kota, begitu pula pada sumber daya manusianya kebutuhan akan
pekerjaan dapat terpenuhi karena lapangan pekerjaan tersedia di desa.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah terbentuknya industri kakao pada kecamatan Ajangale?
2. Bagaimana
tipologi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale
?
3. Bagaimana
lokasi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
sejarah terbentuknya industri kakao pada kecamatan Ajangale
2. Mengetahui
tipologi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale
3. Mengetahui
lokasi pengembangan industri perdesaan industri kakao pada kecamatan Ajangale
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Industri
Perdesaan
Industri
perdesaan merupakan pekerjaan diluar sektor pertanian, sering disebut
sebagai non-farm employment. Pekerjaan pedesaan dibedakan menjadi farm dan
non-farm. Non-farm lebih dikenal dengan nama off-farm, sehingga perdesaan
sering pula disebut sebagai pekerjaan off-farm.
Farm
dan non-farm mempunyai basis pemisahan pada jenis kegiatan ekonomi pertanian
dan non-pertanian. Konsep on-farm dan off-farm, pada prinsipnya merujuk pada
lokasi kegiatan. On-farm land, di
lahan pertanian atau pengertian secara umum adalah didaerah pedesaan. Off-farm land, pada skala mikro merujuk
pada lokasi diluar lahan pertanian, atau pada skala luas merujuk pada diluar
wilayah perdesaan. Kombinasi dari jenis dan lokasi kegiatan cukup untuk membuat
pengelompokkan pekerjaan didesa.
Industri
pedesaan menurut Undang- Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian:
industri kecil yang berlokasi di pedesaan yang terutama mengolah hasil-hasil
pertanian dan komoditi lain yang dihasilkan di pedesaan.
ESCAP
(1987) menyebutkan: rural industries will
be small scale, and labour rather than capital-intensive.
UNDP
(1988) mendefinisikan: micro-enterprise
(0-4 employees) and small-enterprises (5-25 employees) and location in
villages, small towns, and those larger urban concentrating that still retain
many rural characteristics.
B. Perkembangan
Industri Pedesaan
Pengelompokkan
jenis industry yang berbeda di Indonesia disusun oleh Departemen Perindustrian
dan Badan Pusat Statistik. Departemen Perindustrian mengelompokkan jenis usaha
yang lebih sederhana dan ringkas menjadi 3 kelompok:
1. Industri
Aneka (IA)
2. Industri
Logam Mesin dan Elektronika (ILME)
3. Industri
Kimia (INKIM)
Badan Pusat Statistik mengelompokkan
industri ke dalam 8 kelompok besar (major
industry division) mengikuti sistem ISIC (Internasional Standar Industrial
Classification). Kelompok utama industri dan kodenya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pengelompokan Industri
Berdasarkan ISIC
Kode
|
Major
industry division
|
31
|
Ind
Makanan, minuman dan tembakau/ Manufacture
of food, beverages, and tobacco
|
32
|
Ind
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki/ Textile, wearing apparel, and leather industry
|
33
|
Ind
kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk alat-alat rumah tangga dari kayu/ Manufacture of wood and wood products,
including furniture fixtures
|
34
|
Ind
kertas dan barang-barang kertas, percetakan dan penerbitan/
Manufacture of
paper and paper products, printing and publishing
|
35
|
Ind.
Kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan
barang-barang dari plastik/ Manufacture
of chemicals and chemical goods, ptroleum, coal, rubber, and plastic product
|
36
|
Ind
barang-barang galian bukan logam, kecuali minyak bumi dan batu bara/ Manufacture of non-metalic mineral
products, except products of petroleum and coal
|
37
|
Ind
logam dasar/
Basic metal
industries
|
38
|
Ind
barang-barang dari logam, mesin dan perlengkapannya/ manufacture of fabricated metal producys, machinery, and equipment
|
39
|
Ind
pengolahan lainnya
|
Sumber
: BPS.1994.Statistik Industri Kecil Small
Scale Manufacturieng Industry Statistics
Dengan pendekatan jenis ini produk
industri perdesaan dapat dikelompokkan dalam tingkatan dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Barang-barang
konsumsi yang mudah rusak (perishable
consumer goods): terutama adalah makanan, mempunyai ciri relatif sederhana,
harganya cukup murah, untuk pemakaian jangka pendek.
b. Barang-barang
konsumsi yang lebih tahan lama (more
durable consumer goods) terutama adalah produk-produk hasil pertanian
non-pangan seperti kayu, kertas, dan tekstil dan produk barang galian bukan
metal seperti keramik dan gipsum, untuk kebutuhan rumah tangga, alat-alat,
perabot dan furnitur rumahtangga, harga lebih mahal, untuk penggunaan jangka
menengah, secara teknis lebih rumit dan membutuhkan waktu lebih lama
pengerjaannya.
c. Barang-barang
konsumsi tahan lama (durable consumer
goods) secara teknis kompleks, lebih mahal, untuk penggunaan-penggunaan
jangka panjang, terutama kelompok logam.
d. Barang-barang
modal dan bahan antara (intermediate
& capital goods) bisa meliputi semua kategori kelompok industri di atas
tetapi bukan untuk kepentingan konsumsi, diproduksi untuk konsumsi perusahaan
atau proses produksi.
C. Bahan
Baku
1.
Bahan Baku
(Main Material)
Bahan Baku adalah bahan
utama yang digunakan dalam proses produksi. Bahan ini tergantung pada jenis
usahanya. Sesuai dengan konsep industri, bahan baku yang diolah dapat berupa
bahan mentah (raw-material)atau bahan yang telah terolah menjadi produk
setengah jadi (semi finished product). Bahan baku dapa dibedakan menjadi 2
yaitu:
a.
Bahan Mentah
Bahan yang belum mengalami pengolahan dan
transformasi bentuk.
b.
Bahan
Setengah Jadi
Adalah bahan mentah yang terolah dan mengalami
transformasi menjadi produk setengah jadi atau produk akhir yang siap konsumsi
diperlukan pengolahan tambahan.
2.
Bahan
Tambahan (Additional Material)
adalah bahan diluar bahan
utama yang ditambahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk jadi
maupun setengah jadi sesuai dengan target produksi industri pengolahan yang
bersangkutan. Bahan tambahan disebut pula dengan bahan penolong atau bahan
antara.
3.
Sumberdaya
dan Energi
Adalah berbagai jenis
sumber yang menggerakan proses produksi baik yang langsung berkenaan dengan
produk atau melalui instrumen tertentu.
4.
Asal dan cara
pengadaan bahan
Pada awal
perkembangannya, industri perdesaan cenderung berorientasi pada keberadaan
sumberdaya, bahkan sejumlah industri tradisional menggunakan sumber bahan yang
dimiliki sendiri.
Industri yang
berorientasi pada keberadaan sumberdaya pada umumnya mendekatkan diri pada
lokasi sumberdaya tersebut. Ada kecenderunbgab perkembangan selanjutnya adalah
bahwa bahan baku setempat tidak lagi mencukupi kebutuhan baik karena
perkembangannya unit usaha industri, atau semakin banyaknya permintaan dan
ketersediaan bahan ini ditutupi dengan mendatangkan bahan dari luar daerah.
Kondisi tersebut bisa
digunakan untuk identifikasi perkembangan industri. Semakin maju industri
semakin besar proporsi penggunaan sumber-sumber bahan berasal dari non-lokal,
baik dalam lingkup rgional dan nasional. Pendekatan perkembangan industri
dengan bahan baku sering dikombinasikan dengan pemasaran. Dalam hal ini
pemasaran produk ke luar daerah (non-lokal) diasumsikan lebih berkembang
dibandingkan dengan pemasaran lokal.
Asumsi ini berdasarkan
theori economic base. Jenis-jenis industri yang tergolong basis yaitu yang
menjangkau pasar luar daerah/non-lokal dipandang lebih maju perkembangannya
dibandingkan yang memasarkan produknya dipasarlokal. Asumsi ini
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa industri yang menjangkau pasar luar
daerah akan menghasilkan aliran modal ke daerah terebut yang berarti
meningkatnya investasi dan menguatkan dorongan perkembangan sektor ekonomi
lainnya.
Sumber bahan
|
Jangkauan Pemasaran
|
|
Lokal
|
Non-lokal
|
|
Lokal
|
I
(kurang berkembang)
|
II
(perkembangan sedang)
|
Non-lokal
|
II
(perkembangan sedang)
|
III
(perkembangan baik)
|
D. Tenaga
Kerja Industri Pedesaan
Tenaga
kerja pada industri perdesaan dapat dibedakan menurut jenis, kualitas, dan
kuantitasnya. Perbedaan dalam tenaga kerja untuk menunjukkan perbedaan potensi
perkembangannya. Berdasarkan jenis tenaga kerja, pada industri perdesaan
terdapat dua kategori utama yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja
upahan. Industri yang lebih maju menggunakan tenaga kerja upahan, yang kurang
berkembang lebih mengkombinasikan antara tenaga kerja upahan dan tenaga kerja
keluarga, industri tradisional menggunakan tenaga kerja keluarga atau pekerjaan
dilakukan sendiri.
Kualitas
tenaga kerja sebagai pendekatan identifikasi perkembangan industri perdesaan
juga bisa digambarkan dari seberapa jauh spesialisasi kerja berlangsung dalam
suatu usaha. Semakin maju industri, semakin nampak ciri-ciri industri formal
dalam kualitas tenaga kerjanya yaitu semakin jelas spesialisasi dan semakin
lengkap pembagian kerja.
Pada
sisi kuantitas, jumlah tenaga kerja dapat digunakan untuk mengelompokkan
industri berdasarkan skala usaha. Besarnya tenaga kerja per unit usaha akan
merepresentasikan skala usah dan tingkat kemjuan usaha industri. Besaran tenaga
kerja yang dimaksud bisa dalam nilai absolut dengan mengelompokkannya dalam
kelas dan kategori usaha atau membandingkan rerata tenaga kerja per unit usaha.
Asal
tenaga kerja, dapat dibedakan menjadi tenaga domestik, tenaga setempat, dan
tenaga dariluar daerah. Industri perdesaan yang kurang prospektif dan masih
dalam tahap awal pada umumnya didominasi tenaga kerja domestik. Semakin maju
industri, akan semakin dominan penggunaan tenaga kerja upahan dari luar daerah.
Kondisi ini disebabkan oleh semakin formalnya hubungan antara pengusaha dan
tenaga kerja, selain semakin terspesialisasinya bidang tugas tenaga kerja.
Ketrampilan
pekerja merupakan salah satu unsur penting dalam proses produksi, sehingga
semakin tinggi ketrampilan seorang pekerja diharapkan dapat semakin
meningkatkan kualitas produk, efisiensi serta produktivitasnya.
E. Modal
Usaha
Modal
merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Dengan melihat struktur
modal suatu usaha industri, dapat diketahui kondisi pengelolaan dan skala
usahanya.
Berdasarkan
peeriodenya, modal dibedakan menjadi dua yaitu modal awal dan modal yang berlangsung.
Modal awal merupakan modal yang ditanamkan untuk memulai usaha. Modal yang
berlangsung yaitu besarnya modal yang dipergunakan dalam operasionalisasi
usaha.
Modal sering dinyatakan sebagai masalah yang umum
dijumpai dalam pengembangan industri perdesaan. Namun akurasi pernyataan ini
masih menjadi kontroversi mengingat banyaknya scheme pinjaman lunak yang tidak
termanfaatkan. Ada dua kemungkinan untuk menjelaskan kondisi ini. Petama akses,
prosedur, dan persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh pengusaha industri
perdesaan. Kedua, kurangnya kemampuan pengusaha untuk menjamin bahwa pinjaman
modal lunak bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produktif dan bukan untuk
kegiatan konsumtif.
1.
Jenis Modal
Berdasarkan waktu atau periodenya, modal dibedakan
menjadi dua yaitu:
a.
Modal awal
yaitu nilai modal yang ditanamkan untuk memulai usaha.
b.
Modal yang
berlangsung yaitu besarnya modal yang dipergunakan dalam operasional usaha pada
kondisi yang terakhir.
Berdasarkan penggunaannya modal juga dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
Modal tetap
yaitu nilai modal yang ditanamkan untuk pengadaan aset produksi yang berupa
tempat usaha dan peralatan produksi serta fasilitas pendukung lainnya.
b.
Modal kerja
yaitu nilai modal yang dibelanjakan untuk operasional usaha industri secara
reguler.
2.
Sumber Modal
Derajat
formalitas sumber modal bagi industri perdesaan akan merepresentasikan tingkat
kemajuannya. Terdapat kecenderungan bahwa semakin formal sumber modal udara
semakain maju usaha tersebut. Hal ini bersesuaian dengan industri modern yang
sumber modal usahanya dari sumber formal yaitu perbankan. Secara garis besar,
sumber modal dibedakan menjadi dua kategori yaitu:
a.
Sumber
domestik, yaitu sumber yang berada pada lingkup rumahtangga atau keluarga
seperti orang tua, saudara, atau modal milik pribadi, sumber modal ini
dipandang kurang memotivasi kemajuan usaha.
b.
Sumber modal
dari lembaga formal, misalnya bank atau KUD akan menempatkan pengusaha pada pola
dan motivasi kerja yang lebih baik agar bisa mempertanggungjawabkan pinjamannya
dalam periode angsuran pinjaman yang ditentukan.
F. Teknologi
Produksi
1.
Klasifikasi
Teknologi
Perubahan teknologi
produksi perdesaan sering dipandang lambat. Pada kelompok-kelompok industri
kerajinan, teknologi sering masih bersifat tradisional yang diwariskan dari
generasi ke generasi, hampir tanpa peningkatan. Sebab utama kelambatan ini pada
sisi internal sering dinisbahkan pada rendahnya keusahawanan berupa keterbatasan
wawasan dan kecenderungan untuk bersikap menjaga stabilitas produksi
dibandingkan menempuh suatu risiko.
Pada sisi ksternal, sebab
kurangnya perkmbangan teknologi juga berasal dari kurangnya upaya-upaya
dilakukan untuk menciptakan teknologi produksi yang sesuai dengan kebutuhan
industri perdesaan, keterbatasan dalam upaya penyebaran dan sosialisasi, serta
penyuluhan informasi tentang perkembangan produksi.
Berdasarkan pada
penelitian terhadap teknologi produksi yang digunakan, bisa dibedakan tipologi
industri perdesaan menjadi:
a.
Teknologi
terapan
b.
Tknologi maju
dan modern
c.
Teknologi
tradisional
2.
Teknologi
terapan
Teknologi yang lebih
sesuai dengan keadaan industri perdesaan skala kecil adalah teknologi terapan
yaitu jenis teknologi produksi yang lebih menekankan pada tenaga kerja kurang
berketrampilan dibandingkan pada modern. Ini sesuai dengan negara berkembang
yang tidak punya cukup sumber modal dan pengetahuan teknik untuk mengembangkan
teknologinya.
3.
Otomasi
Teknologi
Klasifikasi teknologi
dalam tipe tradisional, terapan dan modern dapat diidentifikasi dengan
membedakan tingkat penggunaan tenaga manusia (manual) dan penggunaan sarana
yang mendorong otomasi dengan daya yang dibangkitkan dari energi minyak bumi
atau daya kelistrikan sehingga terjadi proses otomasi. Teknologi tradisional
hampir keseluruhan proses produksinya menggunakan tenaga manual belum ada
sistem otomasi.
G. Produksi
Dalam suatu komunitas industri perdesaan pada jenis
produksi yang sama, sering dijumpai variasi dalam corak produksinya. Secara
umum perbedaan corak ini dibedakan ke dalam dua kategiri yaitu produk
tradisional dan produk inovasi.
1.
Produk
tradisional adalah produk yang bentuk dan corak desainnya telah berlangsung dan
bertahan secara turun temurun bertahan antara generasi. Perubahannya relatif
sedikit dan tidak substansial.
2.
Produk
Inovasi adalah produk dari bahan utama yang sama seperto produk tradisional,
sistem pengolahan dasar yang sama namun dengan corak dan desain yang berbeda
dengan yang pada umumnya dilakukan pengusaha di tempat itu.
H. Pemasaran
Produk
Pemasaran
hasil produksi merupakan mata rantai paling ujung dari aktivitas kegiatan
produksi. Maju mundurnya aktivitas kegiatan produksi, tidak dapat terlepas dari
berhasil tidaknya kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh usaha industri. Selain
itu dengan melihat wilayah pemasaran dapat diketahui apakah usaha industri
skala kecil tersebut telah dapat menembus pasar luar daerah atau hanya
bergantung dengan pasar domestik saja.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Terbentuknya
Pada
awal tahun 2009 muncul banyak masalah pada kalangan petani kecamatan Ajangale,
kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Petani kecamatan Ajangale tidak dapat memupuk
kebun atau sawah mereka, benih juga susah didapat yang tersedia harganya tidak
terjangkau petani kecamatan Ajangale. Masalah-masalah tersebut hampir setiap
hari petani wacanakan, namun mereka belum juga menemukan solusi dan jalan
keluar untuk keluar dari masalah-masalah yang melanda para petani yang ada di
Kecamatan Ajangale. Keadaan yang demikian, memunculkan ide untuk bekerja sama
membentuk kelompok tani. Pengelompokkan petani dibentuk dan diorganisir dengan
baik dan transparan.
Maka
dibentuklah pengurus untuk mengorganisis para kelompok tani. Berikut susunan
kepengurusan:
1. Ketua
: Amirullah
2. Wakil
Ketua : Rustang
3. Sekretaris
: Darwis
4. Bendahara
: Zainal
5. Wakil
Bendahara : Hajrah
6. Seksi
·
Saprodi :
Codding
·
Perkreditan : H. Ramli
·
Pemasaran : Abd. Samad
Setelah dibuat kepengurusan, para
pengurus berkoordinasi dengan pemerintah setempat dan PPL, maka pada
tanggal 31 Januari 2009 diadakanlah pertemuan masyarakat-masyarakat tani di
dusun kami guna membentuk sebuah kelompok tani kakao secara demokratis dan
transparan. Acara tersebut turut dihadiri kepala desa, PPL, dan Camat. Dan atas
kebulatan suara maka kelompok tersebut diberi nama “SIPAKATAU” yang
beranggotakan 25 orang.
Pada tanggal 03 Juni 2010 kami membentuk
“KPP.SIPAKATAU BONE atau GAPOKTAN SIPAKATAU BONE” yang di dalamnya tergabung
beberapa kelompok tani dan sepakat memakai sistem dan manajemen yang selama ini
dilakukan kelompok tani “SIPAKATAU”.
B. Bahan
Baku
Bahan
baku yang digunakan untuk memproduksi kakao pada daerah kecamatan Ajangale,
kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini adalah kakao yang masih basah diambil
langsung dari pohonnya.
Bahan
baku kakao diperoleh dari petani setempat yang dikolektif menjadi satu. Untuk
saat ini bakan bahan baku dari petani atau dengan kata lain bahan baku lokal
masih mencukupi untuk melakukan produksi. Hal itu dikarenakan masih tahap permulaan dalam skala kecil.
C. Tanaga
Kerja
Tenaga kerja yang
dikerahkan pada industri kakao kecamatan Ajangale terdiri dari pekerja tetap
dan pekerja harian. Pekerja tetap berasal dari pengurus, sedangkan untuk
pekerja harian berasal dari masyarakat sekitar.
Untuk meningkatkan
mutu buah kakao, pekerja atau petani
daerah kecamatan Ajangale mendapat
bantuan dari Gernas. Pemerintah melaksanakan Program Gernas kakao dengan
memberikan program intensifikasi, rehabilitas dan unit pengelolaan. Bantuan
dari gernas bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan ketrampilan para tenaga
kerja.
D. Modal
Modal
menjadi salah satu faktor penting dalam menjalankan suatu industri atau usaha.
Modal atau dana sering kali menjadi masalah dalam suatu usaha. Untuk mengurangi
masalah pendanaan, masyarakat kecamatan Ajangale bersepakat untuk penetapan
sumber pendanaan berasal dari, sumbangan anggota yang ditetapkan berdasarkan
rapat anggota dan bersumber dari sumbangan anggota dalam bentuk buah kakao pada
setiap kali panen 3-5 buah.
Selain
pendanaan berasal dari sumbangan masyarakat setempat, industri kakao mendapat
bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan industri kakao.
E. Teknologi
produksi
Pada
industri kakao daerah kecamatan Ajangale menggunakan teknologi terapan yaitu
dengan menggunakan bak fermentasi dan mesin pengering. Penggunaan teknologi
terapan karena di sesuaikan dengan modal dan tenaga kerja yang ada. Bak
fermentasi dan mesin pengering harganya relatif murah dibandingkan dengan
alat-alat teknologi yang lebih canggih yang pada umumnya semua kegiatan
produksi dikerjakan oleh mesin. Selain harga yang disesuaikan dengan modal yang
ada, teknologi terapan sesuai dengan kondisi tenaga kerja kecamatan Ajangale. Tenaga
kerja yang dibutuhkan cukup dengan ketrampilan yang ada pada daerah setempat
atau ketrampilan dapat dibentuk melalui program latihan sederhana.
Teknologi
dapat diterapkan pada skala yang sesuai dengan permintaan potensi lokal bagi
produk. Perawatan teknologi dapat dilakukan secara lokal tanpa memerlukan ahli
dari luar. Resiko rusakpun minimal.
F. Produksi
Kakao
yang sudah dipetik oleh petani kemudian di salurkan pada pengelola industri.
Dari sinilah awal produksi kakao dimulai, kakao yang disetorkan oleh para
petani masih dalam bentuk basah kemudian di masukkan ke bak fermentasi. Di
dalam bak fermentasi kakao didiamkan selama 5 hari. Setelah itu tahap
pengeringan melalui sinar matahari dan mesin pengering. Kakao dimasukkan ke
dalam mesin pengering dengan kapasitas 2 ton sampai kadar air dibawah 7. Tahap
selanjutnya, kakao dibersihkan dan disortir lalu dikemas dalam karung kemudian
kakao siap untuk di masukkan ke dalam gudang. Hasil akhir kakao olahan menjadi
kakao fermentasi yang siap untuk di pasarkan.
G. Pemasaraan
Produk
Industri
kakao di kecamatan Ajangale proses pemasaran awalnya dari petani daerah
kecamatan Ajangale di jual kepada pengelola usaha tani daerah setempat,
kemudian oleh para pengelola dikolektif. Sebelum disalurkan lagi diolah
terlebih dahulu sampai tahap proses fermentasi, sehingga di sebut dengan
fermentasi kakao. Setelah menjadi fermentasi kakao, produk tersebut dikirim ke
PT bumi tangerang cabang Makasar.
H. Lokasi
Industri perdesaan
berlokasi pada kecamatan Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
dari analisis diatas pada bagian pembahasan industri kakao pada kecamatan
Ajangale, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dapat dimasukkan dalam kategori
sesuai dengan asal dan pengadaan bahan. Pada Industri kakao sumber bahan baku
berasal dari lokal dan jangkauan pemasaran sampai pada luar daerah atau
non-lokal, sehingga dapat disimpulkan industri kakao pada kecamatan Ajangale
termasuk industri perdesaan tahap perkembangan sedang. Hal ini seperti terlihat
pada tabel dibawah ini:
Sumber bahan
|
Jangkauan Pemasaran
|
|
Lokal
|
Non-lokal
|
|
Lokal
|
I
(kurang berkembang)
|
II
(perkembangan sedang)
|
Non-lokal
|
II
(perkembangan sedang)
|
III
(perkembangan baik)
|
DAFTAR PUSTAKA
Sudjoko.2003.
PROFIL Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga Tahun 2001.
Jakarta: Badan Pusat Statistik
Jakarta: Badan Pusat Statistik
Pendidikan Geogerafi
UNS. 2008.Bahan Ajar Geografi Industri. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret
Universitas Sebelas Maret
Amrullah.2009.Susunan Pengurus.
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/pengurus.html
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/pengurus.html
Amrullah.2009. Dana Kelompok.
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/dana-kelompok.html
http://sipakataubone.blogspot.com/2009/12/dana-kelompok.html
Anonim.2010.http://sp2010.bps.go.id