1.
Achmad Naa’im (K5412001)
2.
Anita Silvia D (K5412010)
3.
Catur Wahyu N (K5412020)
4.
Daryanti (K5412023)
5.
Indri Yuniar R (K5412032)
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan hidup
merupakan suatu kesatuan dimana di dalamnya terdapat berbagai macam kehidupan
yang saling tergantung. Lingkungan hidup juga merupakan penunjang yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup semua makhluk hidup yang ada. Lingkungan yang sehat akan terwujud
apabila manusia dan lingkungannya dalam kondisi yang baik.
Kemajuan
suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan
pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan tekhnologi. Dalam pola
pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumber daya alam dan sumber
daya manusia, agar dapat terus-menerus menunjang kegiatan atau proses
pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu
sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem
ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung padanya.
Di Indonesia pembangunan nasional disusun
atas dasar pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Keduanya dilaksanakan
secara sambung menyambung untuk dapat menciptakan kondisi sosial ekonomi yang
lebih baik. Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup seharusnya menjadi acuan
bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan
kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan
pembangunan tetap terjamin.
Pola pemanfaatan
sumberdaya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada segenap masyarakat,
bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan tertentu, dengan
demikian pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran
serta aktif masyarakat, serta memikirkan dampak–dampak yang timbul akibat
pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
Oleh karena itu lingkungan hidup
di Indonesia perlu ditangani dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu
adanya masalah mengenai keadaan lingkungan hidup seperti kemerosotan atau
degradasi yang terjadi di berbagai daerah.
Pentingnya pelestarian lingkungan
hidup telah diperkuat dengan ditetapkannya amandemen UUD 1945 pasal 33 ayat 4
yang berbunyi: ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan dan kesatuan ekonomi nasional”. Amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut, secara
tegas mengkaitkan antara pembangunan ekonomi nasional dengan lingkungan hidup.
Jadi prinsip dasar pembangunan yang dianut sekarang ini harus dapat
menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, maupun lingkungan secara baik dan
harmonis.
Dalam
pelaksanaan pembangunan di Indonesia, telah didukung oleh peraturan
perundang-undangan sektor seperti misalnya bidang perindustrian, kehutanan,
pertambangan, pertanian, pengairan, perhubungan dan kepariwisataan, yang
didalamnya telah mengakomodir prinsip-prinsip kehati-hatian dalam memanfaatkan
sumber daya alam. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih banyak menimbulkan
persoalan kerusakan dan pencemaran. Untuk itu, diperlukan suatu perlindungan
bagi sumber daya alam agar tidak terus menerus mengalami degradasi akibat
pelaksanaan kegiatan dan atau usaha oleh sektor tersebut. Tekanan kerusakan dan
pencemaran terhadap sumber daya alam, tidak hanya berasal dari kegiatan dan
atau usaha skala besar, tetapi juga berasal dari kegiatan sehari-hari
orang-perorangan, rumah tangga dan kegiatan skala kecil lainnya. Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada dasarnya
mengatur dan melaksanakan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam,
yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan,
perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran
dari pelaksanaan kegiatan dan atau usaha, baik skala kecil maupun skala besar.
Jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang, untuk
generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, merupakan makna yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Untuk itu diperlukan
suatu pemahaman yang cukup dalam menganalisis mengenai dampak tehadap
lingkungan. Meningkatnya
intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi
kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain pencemaran industri,
pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan,
penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian,
penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.
Agar pembangunan tidak menyebabkan
menurunnya kemampuan lingkungan yang disebabkan karena sumber daya yang
terkuras habis dan terjadinya dampak negatif, maka sejak tahun 1982 telah
diciptakan suatu perencanaan dengan mempertimbangkan lingkungan. Hal ini
kemudian digariskan dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang
Anlisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Peraturan Pemerintah ini
kemudian diganti dan disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993
dan terakhir Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sedangkan pembangunan
berwawasan lingkungan yaitu pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan
manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan
aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada dasarnya mengatur
dan melaksanakan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam, yaitu
udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan,
perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran
dari pelaksanaan kegiatan dan atau usaha, baik skala kecil maupun skala besar.
Salah
satu upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan dalam mencegah
terjadinya kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan studi AMDAL. Dalam PP
No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL dinyatakan bahwa analisis menegenai dampak
lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau
kegiatan. AMDAL berfungi sebagai upaya preventif dalam menjaga dan
mempertahankan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak
negatifnya menjadi serendah mungkin. Oleh karena itu dokumen AMDAL bersifat
mengikat berbagai pihak yang terlibat di dalamnya serta mempunyai konsekuensi
bagi status perijinan dan atau kegiatan (Suratmo dalam Yetti, 2008).
Proses
AMDAL kemudian berifat wajib (mandatory)
untuk dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak penting. AMDAL terdiri atas kerangka acuan (KA),
analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencan pengelolaan lingkungan (RKL),
rencana pemantauan lingkungan (RPL). KA adalah komponen pertama yang berisi
pedoman penyusunan ANDAL. ANDAL adalah kajian utama tentang dampak besar dan
penting dari suatu usaha atau kegiatan. RKL adalah dokumen alternatif dari
suatu kegiatan. RPL adalah dokumen yang berisikan alternatif pemantauan dampak
dari suatu kegiatan. Dengan demikian AMDAL yang terdiri atas empat dokumen
tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan
satu sama lain, fleksibel dan terbuka untuk selalu dikoreksi dan menjadi salah
satu sistem manajemen lingkunan (SML).
SML
adalah suatu sistem atau cara dalam menangani lingkungan hidup yang mencakup:
1) organisasi dan kebijakna lingkungan, 2) perencanaan, 3) implementasi dan
operasi, 4) pengawasan dan tindakan koreksi, dan 5) pengkajian manajemen. SML
lainnya dalam upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan bagi perencanan
dengan penerapan ISO 14000. Namun penerapan ISO 14000 hanya bersifat voluntary (sukarela), sementara AMDAL
bersifat mandatory (wajib).
Untuk sektor migas, studi lingkungan telah dimulai sejak
1987 yang dikenalkan dengan dokumen studi evaluasi mengenai dampak lingkungan
(SEMDAL) bagi kegiatan yang sudah berjalan dan dokumen AMDAL bagi kegiatan yang
akan dilaksananakan berdasarkan PP No. 29 tahun 1986 (periode 1986-1993).
Walaupun kebijakan AMDAL telah diterapkan pada kegiatan usaha migas lebih dari
20 tauhn, namun masih terdapat persepsi negatif dari masyarakat terhadap
pengelolaan lingkungan kegiatan migas dan terdapat isu pencemaran lingkungan
serta sering terjadi emergency
(antara lain: tumpahan minyak). Mengingat pentingnya kegiatan pengelolaan
lingkungan berdasarkan uraian di atas, maka kajian mengenai pengembangan
kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas
jadi sangat penting untuk dilakukan.
B.
Pengertian Hukum Lingkungan
Berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Lingkungan Hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk
didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, manusia
hanyalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup tetapi perilakunya akan
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidak merusak,
mencemari atau menguras lingkungan. hal ini juga dijelaskan didalam penjelasan
Undang-Undang Lingkungan Hidup antara lain sebagai berikut: “ Lingkungan hidup
Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan
bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
mantranya sesuai dengan wawasan nusantara.”Paradigma baru mengenai lingkungan
hidup inilah menjadi inspirasi munculnya suatu paradigma baru mengenai hukum
lingkungan. Penggunaan hukum lingkungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan
bagian hukum yang bersangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk
mengatasi pencemaran, pengurasan dan perusakan (verontreiniging, uitputting
en aantasting) lingkungan (fisik).Jadi pengertian hukum lingkungan disini
hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial.
Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan
berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan penduduk, migrasi dan
tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi.
Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah
lingkungan khususnya yang disebabkan oleh umat manusia. Kerusakan lingkungan
atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana alam yang
kadang-kadang sangat dahsyat dan tentunya dapat mengganggu stabilitas
masyarakat dalam suatu lingkungan. Masalah lingkungan bagi manusia dapat
dilihat dari menurunnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut
nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan ketenteraman manusia. Nilai
lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai
lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia.
Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi
kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya,
langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum
lingkungan menyebabkan apa yang dilarang apa yang diperbolehkan. Secara tidak
langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang
untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.
Jadi, hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama
adalah ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya
anggota masyarakat dihimbau bahkan perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang
tujuannya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua, adalah dimensi yang
memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola
lingkungan. Hukum lingkungan dan ilmu lingkungan pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan tetapi tidak dapat dibedakan. Dari dua komponen ini terlebih dahulu
kita mulai dari ilmu lingkungan. Berbicara mengenai ilmu lingkungan tidak dapat
terlepas dari dua konsep atau dengan perkataan lain ilmu lingkungan ini
bertumpu pada dua konsep yakni konsep ekologi dan konsep ekosistem. Ekologi
berasal dari kata oikos yang berarti rumah tangga atau tempat untuk
hidup dan logos yang berarti ilmu atau studi. Jadi ekologi merupakan
ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.29 Konsep ekologi dilihat dari segi
etimologi merupakan suatu ilmu tentang makhluk hidup atau ilmu tentang makhluk
hidup di dalam rumah tangganya. Dengan ekologi alam dapat dilihat sebagai
jalinan sistem kehidupan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Ekologi
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu autekologi dan synekologi. Autekologi
mempelajari organisme secara individual, misalnya apabila kita mempelajari
sebuah pohon tertentu misalnya pohon beringin dan synekologi mempelajari
kelompok-kelompok organisme yang tergabung sebagai suatu unir misalnya sasaran
penelitian adalah hutan dimana pohon beringin itu hidup.
C.
Ketergantungan
Manusia tehadap Migas
Tingginya kontribusi gas CO2
di atmosfir yang bersumber dari penggunaan bahan bakar foil tidak lain
disebabkan oleh kebutuhan manusia terhadap energi yang sangat tinggi yakni
diperkirakan mencapai 88% atau sekitar 13.700 metrik ton pada tahun 2030.
Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan emisi CO2 sekitar 43
miliar metrik ton. Disisi lain kontribusi kegiatan usaha migas dalam perubahan
iklim adalah bersumber dari pembakaran sisa gas bumi dengan flare stake yang merupakan salah satu
teknologi pengelolaan lingkungan namun masih menghasilkan gas CO2.
Data Ditjen Migas menunjukkan bahwa pada tahun 2006 gas bumi yang dibakar di flare stake adalah sebesar 111.831.560
MSCF (306.388 MSCFD). Jumlah tersebut berasal dari kegiatan usaha migs di
daratan sebesar 73.336.374 MSCF (200.922 MSCFD) dan di lepas pantai 38.495.185
MSCF (105.466 MSCFD).
Menyadari akan pentingnya kebutuhan
energi di satu sisi dan kelangsungan hidup manusia di sisi lain, maka upaya
penurunan emisi gas CO2 sebagai upaya pelestarian fungsi lingkungan
menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup senantiasa dilakukan dengan
prediksi dan adaptasi terhadap berbagai potensi dampak penting yang akan
terjadi akibat adanya kegiatan pembangunan tersebut, sejak tahap perencanaan,
tahap konstruksi, tahap operasi hingga tahap pasca operasi. Selanjutnya
berbagai alternatif solusi untuk mencegah dan menanggulangi dampak, harus
dirumuskan sejak awal yakni pada tahap perencanaan kegiatan sserta dievaluasi
secara terus menerus pada tahapan kegiatan selanjutnya.
Limbah cair yang dihasilkan dari
kegiatan migas juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan perairan, berupa
kandungan minyak dan H2S terlarut. WHO merekomendasikan kadar sulfat
yang diperkenankan pada air minum sekitar 400mg?liter dan kadar hidrogen
sulfida( H2S terlarut) sekitar 0,05 mg/liter. Disamping itu, sulfur
yang diemisikan dari bahan bakar fosil (minyak bumi) yang berlebihan di
atmosfir (kualitas udara) dapat juga membentuk gas hidrogen sulfida (H2S)
yang bersifat asam.
Secara ekonomi kegiatan migas
memberikan pengaruh yang besar terutama dalam peningkatan pendapatan penduduk
karena dapat menyerap peluang kerja dari masyarkat setempat. Dengan demikian
kegiatan minyak dan gas tersebut menjadi salah satu sumber perekonomian bagi
masyarakat yang berada di sekitarnya. Namub bila dilihat secara ekologis dan
kesehatan lingkungan, keberadaan kilang minyak tersebut berpotensi menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat di sekitar lokasi. Permasalahan lingkungan yang
terjadi di lokasi kegiatan migas diantaranya berupa peningkatankadar debu,
kebisingan, bau dan gangguan kenyamanan.
BAB III
KASUS DAN
PEMBAHASAN
A.
Kegiatan Migas
Di Indonesia
Kegiatan
pencarian minyak dan gas di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1871,
sedangkan produksi komersil pertama minyak dan gas di Indonesia dimulai pada
tahun 1885 dan apa akhir 1800-an, minyak bumi telah diproduksi di kilang-kilang
Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. Pada tahun 1961 lahirlah undang-undang No.44
tahun 1961 tentang migas. Selain itu dibentuk pula 3 (tiga) perusahaan
negarabidang migas yaitu PT. Permina, PT. Permigan dan PT. Pertamin.
Selanjutnya pada 20 Agustus 1968 melalui dekrit Permina dan Pertamin digabung
menjadi Pertamina, sedangkan Permigan dilikuidasi.
Era kebangkitan
kembali industri migas terjadi pada tahun 1970-an dimana Indonesia berada di
barisan depan dalam pengembangan minyak dunia, setelah Pertamina menemukan
sumber-sumber minyak baru di berbagai tempat di penjuru tanah air yang
diteruskan dengan melakukan pembangunan stasiun pengumpul minyak dan prasarana lifting cargo, pembangunan kilang
minyak baru serta meningkatkan jumlah penandatangan kontrak bagi hasil (production sharing contract).
Potensi cadangan minyak
dan bumi dan kondensat Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu 8.928,50
MMSTB (million million stock tank barel),
terdiri atas: cadangan terbukti 4.558,20 MMSTB dan cadangan potensial 4.370,30
MMSTB. Cadangan gas bumi Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu sebesar
187,16 TSCF (triliun stock crude fuel),
terdiri atas: cadangan gas terbukti 94,00 TSCF dan cadangan potensial 93,10
TSCF. Total
produksi minyak bumi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 1 juta barel per hari,
terdiri atas produksi minyak 883 ribu barel per hari dan kondensat yaitu 123
ribu barel per hari. Kondisi produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2006
tercatat sebesar 8.093,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.783,0 MMSCFD dan
dibakar 308,0 MMSCFD.
Peranan minyak
dan gas bumi sangat penting antara lain: penghasil devisa negara, penyedia energi dalam
negeri, penyedia bahan baku industri, wahan alih teknologi, penciptaan lapangan
kerja, mendorong pengembangan sektor non migas dan pendukung pengembangan
wilayah. Sebagai sumber energi dalam negei peran minyak dan gas bumi dalam
penerimaan negara/devisa (pajak dan bukan pajak) sekitar 30% dari penerimaan
negara keseluruuhan. Penerimaan minyak dan gas bumi dipengaruhi antara lain:
besarnya tingkat produksi minyak mentah dan kondesat, volume ekspor LNG dan
LPG, harga minyak mentah dari biaya produksi.
Mengingat
kontribusi yang besar terhadap devisa negara, maka upaya-upaya pengembangan
akan tetap dilakukan. Upaya tersebut diimplementasikan dengan meningkatkan
cadangan dan produksi migas serta mengembangkan lapangan marginal dan
optimalisasi penerapan teknologi echanges
oil recovery (EOR), serta insentif untuk daerah remote, laut dalam,
lapangan marginal dann brown field.
Pengembangan lapangan marginal, daerah remote dan laut dalam merupakan sasaran
pengembangan kedepan. Dengan demikian pengaruh limbah dan eksternalitas negatif
yang dapat muncul dari kegiatan usaha migas, menjadi kecil. Pengembangan
tersebut dilakukan dengan program produksi bersih, zero discharge, penggunaan bahan dasar non toxic, serta desain peralatan pengolahan limbah.
Kegiatan usaha
migas tidak hanya memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan pendapatan
masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang
umumnya dihadapi seperti: perijinan usaha, konflik pemanfaatan ruang, konflik
sosial dengan masyarakat lokal, permasalahan
lingkungan akibat limbah dan ekses dari aktivitas yang dilakukan serta
permasalahan kesehatan masyarakaat disekitar lokasi kegiatan.
Permasalahan
perijinan merupakan permasalahan klasik yang umum dihadapi oleh investor
(pemrakarsa) dalam rencana pelaksanaan kegiatannya. Permasalahan ini merupakan
permasalahan administratif birokrasi yang dihadapi oleh hampir semua proses
perijinan di Indonesia. Sehingga tidak sedikit biaya dan waktu yang dibutuhkan
oleh investor dalam proses perijinan suatu kegiatan.
Permasalah
pemanfaatan ruang seringkali muncul menjadi konflik sektoral pada suatu
kegiatan usaha migas. Kegiatan migas yang sekitar 70% berada di daerah on shore dan 30% di daerah off shore berpotensi memunculkan konflik
ruang dengan berbagai aktivitas pembangunan lainnya seperti perhubungan laut,
untuk alur laut Kepulauan Indonesia. Konflik sektoral dengan Departemen
Kehutanan tentang cagar alam, kawasan lindung dan kawasaan konservasi. Konflik
dengan Departemen Pariwisaata tentang taman wisata alam dan cagar budaya.
Konflik dengan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk areal pertambakan dan
kawasan nelayan. Konflik dengan Departemen Perumahan Rakyat untuk areal
pemukiman penduduk.
Konflik sosial
antara KPS dengan masyarakat lokal, juga sering menjadi permasalahan dalam
kegiatan usaha migas. Seringkali, masyarakat sulit untuk menerima keberadaan
kegiatan migas di suatu lokasi, disebabkan minimnya umpan balik dari kegiatan
tersebut terhadap masyarakat. Kondisi ini, tidak terlepas dari kenyataan bahwa
kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi (high tech) dan sifat bukan kegiatan
padat karya. Sehingga penyerapan tenaga kerja lokal, sangat sulit terakomodir
dalam pelaksanaan kegiatan.
Permasalahan
krusial lainnya yang umumnya terjadi pada
kegiatan usaha migas adalah pengelolaan limbah dan ekses negatif dari
kegiatan usaha yang dilakukan. Permasalahan ini terklasifikasi dalam kelompok
permasalahan lingkungan. Isu lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi
isu global dan permasalahan bersama. Permasalahan lingkungan yang dihadapi pada
hakikatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah ini timbul karena perubahan
lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai
dengan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia akibatnya adalah
terganggunya kesejahteraan umat manusia.
Kegiatan usaha
migas berpotensi menimbulkan dampak dan efek terhadap lingkungan seperti limbah
hasil proses produksi yang dihasilkan seperti: emisi SO2, NOx,
hidrogen sulfida, HCs, bensen, CO, CO2, gas metan,
kandungan organik berbahaya, kaustik, tumpahan minyak, fenol, kalium, effluen
gas, serta efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan
global secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup
secara mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas
tersebut tidak hanya menimbulkan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan
kenaikan muka air laut (sea level rise)
sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh efek
rumah kaca (green house effect) dan
penipisan lapisan ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan
asam, dan dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme
hidup.
B. Kebijakan AMDAL
Pembangunan
berkelanjutan terdiri dari tiga matra yaitu: keberlanjutan pertumbuhan ekonomi,
keberlanjutan sosial budaya, keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi)
manusia dan segala eksistensinya. Definisi dasar pembangunan yang dikemukakan
oleh Brundlant (dalam Agustina) adalah “pembangunan yang mampu memenuhi
keperluan hidup manusia masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka” pengertian awal ini dikembangkan
oleh UNEP menjadi “memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan tetap
memelihara kemampuan daya dukung sumberdaya alam dan lingkunga hidup dari
ekosistem yang menopangnya.”
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu
dijaga keserasian hubungan antar berbagai kegiatan. Salah satu instrumen
pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan adalah AMDAL. Kebijakan AMDAL selama ini
diatur dalam peraturan pemerintah yakni PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun
1993, PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, serta dalam peraturan menteri yakni:
PERMEN LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL dan Permen LH No.
11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL.
Kebijakan AMDAL diatur pula dalam bentuk keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun
200 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan
energi. Selanjutnya dalam bentuk keputusan kepala Bapedal No. 199 tahun 1996
tentang kajian aspek sosial ekonomi dalam penyusunan AMDAL, keputusan Bapedal
No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi
dalam proses AMDAL.
Kebijakan-kebijakan
tersebut dimaksudkan sebagai upaya
preventif yang berkekuatan hukum dalam mencegah terjadinya kerusakan fungsi
lingkungan hidup. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu menjamin
keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga fungsi-fungsi lingkungan dengan
baik melalui upaya pencegahan dampak terhadap lingkungan serta penegakan hukum.
Dengan demikian sasaran pengelolaan lingkungan dapat terwujud yakni
terpenuhinya devisa negara, lingkungan hidup lestari dan kesejahteraan
masyarakat meningkat.
Pada waktu berlakunya PP No. 29
Tahun 1986, pemerintah bermaksud memberikan waktu yang cukup memadai yaitu
selama satu tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan efektifitas
berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan persiapan tenaga ahli
penyusun AMDAL. Di samping itu diperlukan pula waktu untuk pembentukan Komisi
Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan esensial bagi pelaksanaan PP
No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29 Tahun 1986 kemudian dicabut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang
diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 1993.
Perbedaan
utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya dokumen
penyajian informasi lingkungan
(PIL) dan dipersingkatnya tenggang waktu prosedur (tata laksana) AMDAL dalam PP
yang baru. PIL berfungsi sebagai filter untuk menentukan apakah rencana
kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau tidak.
Sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini
dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan
pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek.
Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap
lingkungan. Di sisi lain, studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi
upaya-upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut. Instrumen
AMDAL dikaitkan dengan sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun
1993, keputusan tentang pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang
membidangi jenis usaha atau kegiatan dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor
29 Tahun 1986 tentang AMDAL. Namun, upaya penyempurnaan itu ternyata tidak
tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yang menyangkut konsekuensi yuridis
yang rancu (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting dalam
PP AMDAL 1993 ialah Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan
yang sedang berjalan pada saat berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan.,
sehingga AMDAL semata-mata diperlukan bagi usaha atau kegiatan yang masih
direncanakan. Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis
studi AMDAL, yaitu:
- AMDAL proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil, yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
- AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah salah satu kegiatan pabrik pulpen dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
- AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada suatu rencana kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing-masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.
- AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dalam satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota-kota baru.
C. Relevansi AMDAL di Sektor Migas
Kategori
dampak dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 tidak disebutkan
adanya dampak besar tetapi hanya mengkategorikan dampak penting. Hal ini
berbeda dengan kategori dampak dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa
dampak dari rencana suatu usaha dan atau kegiatan dikategorikan menjadi dua
yakni dampak besar dan penting. Namun sesungguhnya dampak besar tersebut
merupakan satu kesatuan dalam kategori dampak besar dan penting dari suatu
rencana usaha dan atau kegiatan.
Dalam PP No. 27 tahun 1999 dampak
besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Selanjutnya bahwa kriteria
dampak besar dan penting suatu usaha dan kegiatan terhadap lingkungan hidup
yakni: a) jumlah manusia yang terkena dampak, b) luas wilayah penyebaran
dampak, c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d) banyaknya komponen
lingkungan lainnya yang terkena dampak, e) sifat kumulatif dampak, dan f)
berbalik (reversible) atau tidak
berbaliknya (irreversible) dampak.
Pembagian kategori penentuan dampak
berdasarkan dampak besar dan dampak penting menjadi salah satu kelemahan PP No.
27 tahun 1999 dalam kaitannya dengan penentuan dampak penting dari suatu
kegiatan usaha migs. Besaran dampak yang dikategorikan dapat menimbulkan dampak
dari sisi besaran dampak adalah untuk kegiatan eksploitasi minyak di darat >
5000 BOPD (barrel oil per day), untuk
eksploitasi gas > 30 MMSCFD (million
million stock crude feet per day). Sebagaimana ditetapkan dalam Kepmen No.
11 tahun 2006 tentang kegiatan yang wajib AMDAL bahwa penentuan besaran minimal
tersebut menjadi dasar penentapan suatu kegiatan usaha migas wajib AMDAL atau
tidak. Sehingga peluang terjadinya dampak terhadap lingkungan, sangat
memungkinkan dengan tidak mewajibkan studi AMDAL bagi suatu kegiatan usaha yang
tingkat produksinya dibawah ketentuan yang telah ditetapkan. Seharusnya, penentuan dampak penting
dan wajib tidaknya suatu kegiatan usaha untuk melakukan studi AMDAL tidaklah
didasarkan pada besaran produksinya, tetapi semua usaha migas yang memungkinkan
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, diwajibkan melakukan studi
AMDAL. Hal ini sangat mendasar, mengingat kegiatan yang memiliki resiko tinggi
terhadap lingkungan, baik dari sisi ekologi maupun sosial.
Usaha dan atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingungan hidup
meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, b) eksploitasi
sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, c) proses dan
kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam proses
pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya
akan dapat mempengaruhi pelestarian pelestarian kawasan konservasi sumberdaya
dan atau perlindungan cagar budaya, f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis
hewan dan jasad renik, g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati,
h) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup, i) kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan
atau mempengaruhi pertanahan negara (pasal 3 ayat 2 PP No. 27 tahun 1999
tentang AMDAL) hal ini bertentangan dengan Kemen LH No. 11 tahun 2006 tentang
kegiatan wajib AMDAL yang mana kategori kegiatan yang wajib menyususn AMDAL berdasarkan volume produksi.
Aturan tentang
penyusunan kerangka acuan disebutkan dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No.51
tahun 1993 bahwa apabila pemrakarsa berpendapat bahwa rencana kegiatannya akan
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, maka pemrakarsa bersama
instansi yang bertanggung jawab langsung menyusun kerangka acuan bagi pembuatan
analisis dampak lingkungan tanpa membuat penyajian informasi lingkungan
terlebih dahulu, dimana kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak
lingkungan ditetapkan oleh komisi dan disampaikan kepada pemrakarsa
selambat-lambatnya 12 hari sejak diterimanya pengajuan kerangka acuan tersebut.
Sementara dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa suatu rencana usaha dan
atau kegiatan yang akan menimbulkan dampak diwajibkan menyusun kerangka acuan
namun apabila usaha dan atau kegiatan tersebut diperkirakan tidak menimbulkan
dampak besar dan penting, maka diharuskan menyusun UKL dan UPL.
Dalam PP No. 27
tahun 1999 keputusan atas penilaian kerangka acuan selambat-lambatnya 75 hari
kerja. Perubahan waktu atas keputusan penilaian kerangka acuan dari 12 hari
menjadi 75 hari kerja menjadi sangat penting mengingat kebutuhan waktu yang
lama dapat menghambat jalannya investasi, begitu pula waktu yang singkat, akan
memberikan penilaina yang tidak maksimal, sehingga dengan demikian waktu
persetujuan kerangka acuan didasarkan pada kebutuhan waktu.
Keputusan atas
AMDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan tersebut.
Apabila keputusan AMDAL berupa penolakan berhubngan kurang sempurnanya, maka
keputusan perbaikan AMDAL diberikan oleh instansi bertanggung jawab
selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan
analisis dampak lingkungan.
Penekanan
sesungguhnya bukanlah pada lamanya waktu prosedur persetujuan AMDAL, namun
lebih ditekankan pada tingkat kebutuhan usaha dengan prinsip-prinsip
kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam proses persetujuan dapat
diterapkan prosedur yang mudah, cepat dan bertanggung jawab dengan demikian
semangat investasi dapat tetap terjaga dalam upaya pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan.
Prosedur
persetujuan dokumen RKL dan RPL dalam PP No. 27 tahun 1999 dilakukan bersamaan
dengan pengajuan dokumen AMDAL dengan waktu yang dibutuhkan 75 hari kerja
terhitung sejak diajukannya dokumen tersebut. Sementara dalam PP No. 51 tahun
1993, prosedur persetujuan dokumen RKL dan RPL dilakukan terpisah dengan
pengajuan dokumen ANDAL. Waktu yang dibutuhkan dalam proses persetujuan dokumen
RKL dan RPL yakni 45 hari kerja.
Perubahan waktu
keputusan persetujuan RPL semakin lama yakni 30 hari kerja (PP No. 29 tahun
1986), 40 hari kerja (PP No. 51 tahun 1993) dan menjadi 75 hari kerja (PP No.
27 tahun 1999). Perubahan waktu persetujuan RPL tersebut tidak memiliki dasar
penetapan waktu yang jelas. Seharusnya wakktu penyusunan tidak ditetapkan sama
untuk semua kegiatan, harus mempertimbangkan lokasi kegiatan yang sulit
dijangkau, perlu pengkajian yang mendalam berdasarkan ekosistem masing-masing
kegiatan, pertimbangan efisiensi waktu, yang dapat menghambat kegiatan usaha
migas sangat dinamis, akhirnya dapat berakibat timbulnya
pelanggaran-pelanggaran, sebelum AMDAL disetujui kegiatan telah dimulai karena
mengejar produksi dan juga dapat menghambat investasi (investasi tidak
kondusif).
Selain
Peraturan Pemerintah masih terdapat Peraturan menteri dan keputusan menteri
negara lingkungan hidup yang terkait dalam pelaksanaan AMDAL di Indonesia
antara lain Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan dan Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis
rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. Peraturan
menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan
analisis mengenai dampak lingkungan merupakan penjabaran kebijakan AMDAL yakni
PP No. 27 tahun 1999 pasal (2) dan pasal 17 ayat (2).
Namun semua
kebijakan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan mengenai kebijakan AMDAL
terhadap sektor migas. Kelemahan tersebut antara lain:
1.
Penentuan dampak penting
Penentuan dampak tidak hanya
didasarkan pada dampak penting tetapi juga pada dampak besar, penyusunan AMDAL
berdasarkan volume produksi bukan dampak penting dari suatu kegiatan migas. PP
No. 29 tahun1986 dan PP No. 51 tahun 1993 dikategorikan dampak penting,
sedangkan PP No. 27 tahun 1999 dikategorikan dampak besar dan penting.
2.
Efisiensi penyusunan AMDAL
Waktu penyusunan relatif lama.
Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL, mulai dari pengajuan
hingga persetujuan AMDAL relatif 1-3 tahun. Biaya penyusunan AMDAL dibebankan
kepada pemrakarsa tapi biaya lain dibebankan pada kementerian lingkungan hidup,
departemen teknis/sektoral atau gubernur.
3.
Komisi AMDAL Pusat
Komisi AMDAL dalam PP No 27 tahun
1999 berada dibawah kewenangan kementerian lingkungan hidup. Sedangkan pada PP
No. 29 tahun1986 dan PP No. 51 tahun 1993 berada pada masing-masing sektor.
4.
Metode pelingkupan
Metode pelingkupan yang digunakan
umumnya bergantung pada keahlian masing-masing penyusun, sehingga sulit
melakukan penilaian metodologi tepat, karena tidak adanya metode-metode
standar/baku.
5.
Metode studi
Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006
tentang pedoman penyusunan AMDAL, metode perkiraan dan evaluasi dampak hanya
disebutkan metode formal dan profesional,
tidak terdapat metode yang baku yang dapat diacu bersama.
6.
Aspek sosial ekonomi
Komponen sosial ekonomi masih
sekitar penyerapan tenaga kerja dan bantuan-bantuan sosial seperti pembangunan
jalan, gedung sekolah dan sarana umum lainnya, dan belum mengedepankan aspek
ekonomi lingkungan, sehingga ketika terjadi emergency
yang berdampak terhadapa lingkungan maka sangat sulit melakukan penilaian.
7.
Keterlibatan masyarakat
Keterlibatan masyarakat selama ini
hanya bersifat formalitas yang porsinya adalah pada waktu pengumuman
masyarakat, dengan demikian tidak ada check
and balances dari masyarakat secara langsung terhadap dampak yang dapat
terjadi.
8.
Analisis evaluasi ekonomi
lingkungan
Belum ada peraturan yang
mewajibkan penggunaan metode TEV (Total
Economic Valuation) atau Analisi valuasi ekonomi lingkungan dalam
penyusunan AMDAL, sehingga hingga saat ini belum ada bukti penerapannya.
9.
Emergency/ Keadaan darurat
Masalah emergency/keadaan darurat tidak ada keterkaitan dengan AMDAL dan
tidak disebutkan dalam peraturan pemerintah maupun keputusan menteri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
contoh kasus serta pembahasan yang telah dipaparkan tersebut dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Dalam melakukan pembangunan harus
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini kemudian diatur dalam
kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, yang merupakan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang
mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara
menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk
menopangnya.
2.
Salah satu kebijakan atau upaya
dalam melakukan pembangunan berwawasan lingkungan adalah AMDAL. Dalam PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL dinyatakan bahwa
analisis menegenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan atau kegiatan. AMDAL berfungi sebagai upaya preventif dalam menjaga
dan mempertahankan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak
negatifnya menjadi serendah mungkin.
3.
Berkembang pesatnya kegiatan
usaha di bidang migas menjadi salah satu pendukung penting dalam usaha
pembangunan, namun hal ini juga membawa dampak buruk khususnya bagi lingkungan.
Maka dari itu, seluruh elemen baik dari pemerintah, investor (pemrakarsa)
maupun dari masyarakat harus melaksanakan upaya AMDAL tersebut secara maksimal.
Agar tujuan-tujuan dari pembangunan tetap tercapai tanpa mengabaikan
kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2003. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia.
Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII.
An-Naf, Julissar. 2005. Pembangunan Berkelanjutan dan Relevansinya Untuk Indonesia. Jurnal
Madani Edisi II/Nopember 2005. Hal 46-55
Yetti, Yusni. 2008. Pengembangan Kebijakan Amdal Mencegah Kerusakan Lingkungan Pada Kegiatan
Usaha Migas. [Desertasi]. Program Studi Ilmu Pengolahan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
[PP 29/1986]. Peraturan Pemerintah Nomor 29
tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.
[PP 51/1993] Peraturan Pemerintah Nomor 51
tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.
[PP 27/1999] Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.
Pembahasan yang cukup lengkap tentang LINGKUNGAN, terima kasih
BalasHapusUntuk melakukan pembangunan yang efektif dan efisien selain dari pengetahuan akan lingkungan yang akan digunakan adalah AMDAL. Anda harus mengetahui Apa Itu Dokumen Amdal dan apa kegunaanya!
BalasHapusArtikel yang sangat menarik
BalasHapusApakah anda sedang ingin menggunakan jasa amdal tapi tidak tahu apa saja syaratnya. Anda bisa mengunjungi http://jasakonsultanamdal.com untuk mengetahui syarat sebelum menggunakan jasa amdal.
Apakah anda sedang ingin membuka usaha tapi anda ragu apakah usaha anda memerlukan jasa amdal? Jika iya anda bisa mengunjungi http://jasakonsultanamdal.com untuk mengetahui apa saja kriteria usaha yang membutuhkan jasa amdal.
BalasHapus